Sabtu, 25 Juni 2011

Catatan Lama dalam Secangkir Pelanggaran Ritual Pagi...

Pagi ini saya melanggar ritual, pelanggaran besar demi bergulat dengan sepasang mata yang harus terjaga...
Pagi ini saya melupakan china untuk berlayar ke ethiopia...mengganti daun dengan biji...menukar katekin dengan lebih banyak kafein,,
Ya, pagi ini saya berselingkuh dengan secangkir kopi, maaf teh....:)

Menemani pertentangan lidah yang pasrah menelan pahitnya minuman pekat ini, saya membuka catatan lama, mereduksi isi keranjang, memilah-milahnya, selanjutnya meluangkan sebuah sisi untuk sedikit berkontemplasi dan berkonsentrasi dalam refleksi,....

Dalam hening, akhirnya ruang ini mengizinkan waktu untuk menyepi, dan berorientasi....


(Replay, 060210, *Ditulis tanpa tendensi untuk mencari konklusi,,,)


"Ikhlas itu,,,
 berserah...

Ikhlas itu menjadikan Allah satu-satunya penentu untuk segala keputusan,,keyakinan dari segala kebimbangan,,,dan ketenangan atas segala kegundahan...

Ikhlas lebih dari sekedar kata,,,ikhlas menancapkan akarnya di relung hati paling dalam untuk kemudian membuyarkan segala rasionalitas,,,karena Ikhlas lebih dari apa yang bisa dijelaskan logika,,,

Ikhlas bagi saya adalah puncak tertinggi dari segala klimaks pergulatan hati...Ikhlas memberi banyak ruang untuk bersyukur sedalam-dalamnya...

Ikhlas menjelaskan hidup ini indah dalam segala dimensi...andai manusia melihat dengan kacamata yang sama...

Ikhlas adalah penawar untuk segala penyakit, sapu tangan untuk segala tangis,,pegangan untuk segala kebimbangan, teman untuk segala kesendirian, penenang untuk segala kekhawatiran,penjaga untuk segala ketakutan..

Ikhlas mengantarkan hati manusia untuk berdialog dengan Penciptanya...

Ikhlas mengingatkan manusia akan KeEsaan Tuhannya....

Ikhlas itu melepaskan segala keangkuhan...mengganti segala "kepastian" manusia dengan "atas izin Allah"...

Ikhlas adalah prolog untuk segala doa,,,

Ikhlas itu bersih...

Ikhlas itu damai,,..

Memaknai hidup adalah memaknai sebuah keikhlasan...

Dimata saya,,

Ikhlas itu,,

Indah..."



Kini, setelah jiwa menyebrangi sekian purnama, mungkin saya masih duduk manis di sebuah kelas, dalam sebuah pembelajaran untuk selalu ikhlas...
.....
Entah bila masanya, kuliah hidup ini lulus sudah hingga berbuah selembar ijazah...
.....
tapi singkat kata, 

Segala Puji Bagi Allah,,Karena Hidup Ini Selalu Indah....






*buru-buru menyudahi kopi, menetralisir pahitnya yang parah, ternyata selingkuh tidak selalu indah...:)

Kamis, 16 Juni 2011

Dua Bintang, Dua Cangkir, dan Satu Pertemuan.

Betapa rumitnya Tuhan mengatur segala pertemuan. Adam dan Hawa, Hitam dan putih, Gula dan Teh, Ulat dan Daun, Air Laut dan Pasir, Sepatu dan Telapak Kaki, Tanah dan Pondasi, dan terakhir pada detik ini, pertemuan Vega dan Altair. Dua nama berbeda dengan satu makna sama. Bintang. Vega bersinar paling terang pada Rasi Lyra, dan Altair berpendar mempesona pada rasi Aquila. Dua dari tiga bintang yang dalam mitologi yunani digariskan bersahabat, bersama satu lagi si angsa putih, Deneb dari rasi Cygnus. 

Ve dan Al, dua jiwa  yang menggeser mitos, karena mereka akhirnya pernah saling jatuh cinta, dan pernah juga saling memberi luka . Pernah saling mendamba dalam gila, tak luput juga bergerilya untuk saling mencerca. Ya, di bumi mereka memang hanya manusia biasa. Sebagaimana biasanya teh tanpa gula. Tawar tapi selalu jujur apa adanya. 

Setelah lalu ratusan purnama, satu kali gerhana, belasan gempa, dan juga pergantian walikota, dua jiwa yang akhirnya sepakat berjalan sendiri-sendiri setelah pernah berlari estafet merangkai mimpi ini, akhirnya bertatap muka. Bersua layaknya kawan lama yang hendak berbagi cerita. Motif sederhana dalam dua cangkir putih dengan penghuni berbeda. Teh dan Kopi. Dua cangkir minuman yang sama-sama manis karena mereka memang sama-sama penyuka gula. Satu kemiripan dari sekian ratus unsur  berbeda yang pernah mereka ramu dalam satu larutan pekat bernama Cinta. Larutan pekat yang enggan stagnan karena selanjutnya berubah wujud pada satu titik jenuh yang sama, menjelma menjadi luka dan lupa. Luka karena mereka sama-sama memberi izin untuk disakiti, lupa karena dengan hanya dengan begitu mereka berdamai dengan nyeri. Rasa yang impas tapi sempat sejenak meninggalkan bekas. 

 Sadar betapa sulitnya Tuhan mengatur segala pertemuan, mereka mulai saling menyapa. Berbasa-basi hampir basi  seperti “Kamu kapan balik dari Melbourne, Ve?”, atau “Ga nyangka akhirnya kamu memilih jadi PNS juga, Al?” Dalam setiap jeda, entah berapa sendok gula ditambahkan Ve, dan sudah tak terhitung berapa kali Al mengaduk kopi susu panasnya. Ada udara hampa diantara mereka. Ada cerita yang belum usai, ada terimakasih yang belum tulus diucapkan, dan ada maaf yang tersimpan  rapi menunggu untuk dimuntahkan. Mereka sama-sama berhutang kata, lepas dari keinginan untuk memutar ulang atau hanya sekedar saling mengenang. 

Vega di mata Al sudah jauh berbeda, mesmerizing dan sophisticated, mata cerdasnya masih berkilau seperti dulu, mata yang menghujam sekaligus menenangkan. Altair di mata Ve juga begitu. Jauh lebih kokoh dan berwibawa dibanding dulu, raut wajahnya tegas dengan mata yang masih semisterius dulu, mata yang berbicara dalam bahasa berbeda dengan kilau ekspresif mata Vega. 

Vega berpakaian rapih dengan Jaket Roberto Verino hitam asimetris, Dress Putih Noir & Blanc yang manis dengan sedikit jahitan rimpel miring di bagian paha, hosiery Vogue, dan lengkap dengan Ankle Strap Zara yang  membalut telapak dan punggung kakinya. Satu kata, Stunning. Ve selalu punya banyak cara untuk  membuat dirinya berbeda. Kalau perempuan disekitarnya berlomba beradu warna pelangi, Ia akan memilih menjadi hitam, dan saat semua wanita terbalut samar dalam gelap, maka ia akan memilih menjadi putih.  Untuk satu hal itu, Al yang walaupun tak pernah sepakat, telah maklum sejak lama. 

Bertolakbelakang dari Ve, Altair hadir sederhana dengan polo shirt abu-abu dan jeans biru Levis. Al tak pernah tergoda menonjolkan diri, sebisanya Ia hadir sesamar mungkin, tenggelam diantara hiruk pikuk bukan masalah, Ia hanya tidak paham mengapa harus  berbeda. Baginya berpakaian itu fungsi, bukan seni. Al tak menolak menjadi hitam, tak pula enggan membalut tubuhnya dengan putih, tapi Ia akan dengan senang hati mengenakan abu-abu. Satu warna favorit yang Ve tahu benar karena Ia pun pernah mengagumi warna yang sama, namun pensiun dini semenjak Ia menyerah bertahan dengan Al. Alih-alih menjatuhkan pilihan pada abu-abu, Ve mengakalinya dengan silver grey. Hampir serupa, tapi tentu tak sama. Setidaknya begitu di mata Ve. 

20 menit berlalu,  teh di ujung jari Ve terlalu manis sudah, tak ubahnya dengan kopi susu Al, yang pasrah dingin sebelum habis. Semua topik mengalir tanpa polemik, tentang pekerjaan, sekolah, Bandung, travelling, hingga politik. Diskusi bergulir semiformal, dari topik disertasi Ve hingga proyek Jembatan Selat Sunda dimana Al terlibat didalamnya.  Hanya satu topik yang tak pernah mereka mulai, baik ketika pertama kali berjabat tangan, hingga menit ke 21 ini,  “Cinta”. Tak ada yang ikhlas mempelopori pertanyaan “kamu sudah menikah?”. Informasi yang mudah diakses sebetulnya, andaikata keduanya tidak buru-buru hengkang dari dunia jejaring setelah sama-sama mapan pada karir masing-masing. Informasi yang tak mampu dijawab oleh dua pasang jemari yang polos tanpa cincin. 

 Dalam bisu mereka sama-sama menerka. Dalam hening dua jiwa tak bergeming. Dalam sepi, dua buah fakta terlipat rapi. Mereka duduk begitu dekat, tapi saling tercekat. Saling berhadapan namun enggan membalas tatapan. Seakan ada rambu yang membelenggu. Layaknya tamu, Vega dan Altair saling menunggu tanpa tahu pasti apa yang dinanti. Mereka hanya sama-sama ingin tahu, sudahkah masing-masing menemukan cinta kembali untuk selanjutnya berikrar mencintai sampai mati?

“Bulan depan aku menikah, Al.” Vega memecah sunyi…
“Bulan depan aku menikah, Ve.” Disaat yang sama Altair genap mengenyahkan sepi…

Untuk pertama kalinya, mereka sama-sama berbinar. Ketika begitu banyak hal yang berubah, mata Ve dan Al berbicara jujur tanpa tabir. Nyatanya kebahagiaan itu terpancar, berpendar setelah puluhan menit terkunci dalam sangkar. Selanjutnya mereka bertukar undangan. Dua buah undangan hitam dan putih beradu di antara cangkir. Saling menyapa, dan berkenalan. Tak perlu pembahasan lebih lanjut tentang nama siapa yang bertengger menemani di halaman depan, karena mereka yakin pemilik nama itu sama-sama beruntung. Seberuntung mereka yang masih sempat bertemu dan membayar hutang kata. Dua kata yang selanjutnya berbaur untuk berbagi bahagia. Dua kata yang tersimpan rapih hingga hari ini, ketika dua bintang itu melapangkan hati untuk mengucap “ Maaf”  dan “Terimakasih”.

Rabu, 08 Juni 2011

Perempuan, Black Strap Wedges dan Secangkir Teh Poci Panas


I still have my feet on the ground, I just wear better shoes.  -Oprah Winfrey-

Saya pernah ada pada posisi terheran-heran kenapa perempuan dan sepatu memiliki relasi kebatinan begitu kuat. ‘Hanya’ sepatu,padahal,  bukan sesuatu yang signifikan untuk diamati secara seksama pada garis horizon mata, ataupun dalam sumbu sosiopetal  dan sosiofugal manusia dalam kajian proxemic antropolog E.T Hall . Hanya sepatu, yang diinjak bahkan  dilempar kalau ada gangguan yang begitu mengesalkan. :D. Tapi, mungkin itu ajaibnya sepatu, sampai Imelda Marcos pun punya museum khusus di Mirikina untuk mendisplay ribuan sepatu koleksinya. Superb! (geleng-geleng untuk selanjutnya meniup niup permukaan secangkir teh poci,,jangan sebut  merek, karena ini benar-benar teh dalam poci.:P)

Dan see,,saat ini saya yang mungkin hampir ada di posisi itu, membangun ikatan imajiner begitu dalam dengan setiap pasang sepatu yang saya pakai. Seringkali sepatu lebih dulu menjelaskan siapa saya, yang kadang berteriak, diam malu-malu, santai, atau bergejolak. Bahkan terkadang, diwaktu lain sepatu juga yang kadangkala menutupi sedikit retak dari my never perfect outfit. Mengutip sedikit saja part percakapan di SATC, “I will never be the woman with the perfect hair (veil, in my case..:D), who can wear white and not spill on it”,, but Thank God, sometimes perfect shoes nailed it. :D!

Sedikit tarik mundur pada postingan blog saya sebelumnya tentang sepasang black ankle boots kesayangan, saya cinta boots ini sebesar rasa cinta pada black strap  wedges 9cm yang saat ini bertengger manis tak jauh dari ujung kelingking kaki saya. Entah ada mantra apa pada sepasang boots itu, tapi mereka seringkali membantu saya untuk berjalan dengan pasti, lari ketika ingin berhenti, yakin disaat ragu, dan  maju ketika tergoda untuk mundur. Mungkin mirip rasanya ketika saya, out of the blue, memutuskan mengenakan merah di suatu pagi, yang ternyata Bill Blass pun sepakat untuk melontarkan sebuah pernyataan yang sangat personal “when in doubt, wear red” :P! Pada intinya, sepasang boots ajaib itu mengintimidasi saya untuk tidak ragu, bahkan ketika itu harus saya bayar dengan pandangan ganjil sekian pasang mata saat dengan akal sehat dan pikiran sadar saya ditemani mereka untuk  asistensi di kampus. Kampus yang dengan common sense nya menciptakan homogenitas sneakers dan flat shoes terkecuali masa-masa sidang akhir atau karnaval toga. And I’ve been there of course…=P! Everyone grows up,,and everything’s changed,right?nothing last forever…diamond included. J….(Teh Poci, anda meluluhlantakkan saya detik ini….)

Menurut saya, black ankle boots dan strap wedges ini berdiri di ranah yang berbeda, tapi berteriak pada gelombang frekuensi yang sama. Sama-sama tegas, dominan, keras kepala, kuat, dan quite intimidating….:). Apa begitukah mereka mendeskripsikan karakter saya saat ini? Well, entahlah, untuk hal ini saya tidak begitu yakin…walau mungkin sudah ada penelitian yang mengait-ngaitkan karakter wanita dengan jenis sepatu yang mereka pilih. Sedikit intermezzo, konon katanya:

  • ·         Perempuan yang memilih sepatu model stiletto ( I know You Know What,but  if you’re a man, under 17, or thinking that fashion’s suck or literally having no idea, please google.:P), cenderung ingin menonjol untuk menutupi rasa ketidakpercayaan dirinya. (see, sometime ‘perfect shoes’ nailed it!). Stilettoers juga ‘katanya’ mencintai tantangan, berani, dan memiliki daya tarik seksual. à Unfortunately saya bukan pengagum sepatu jenis ini, sudah pernah mencoba tapi tersiksa karena koridor berlantai homogenius tile mulus mendadak jadi wahana berbatu di mata kaki saya. :D.
  • ·         Penyuka kitten heel shoes atau sepatu tumit kucing (istilah ini membuat saya beberapa kali memata-matai kucing bunting di halaman rumah, khusus untuk menyelidiki wujud tumitnya, :P), diduga memiliki kepercayaan diri tinggi, aktif, sangat menarik, dan memiliki sifat feminim alami (catat:feminim memang bisa dibuat-buat, bukan?)à Jujur, saya juga bukan pengagum jenis alas kaki ini, pendapat subjektif : tanggung.titik. Tapi tolong jangan karena ini anda menebak saya tidak menarik. :P
  • ·          Perempuan pengagum heel wedges (boys, ini bukan kulit kentang, plis.) adalah perempuan yang kuat dalam mempertahankan pandangan dan percaya diri menatap hidup, sedangkan  mereka yang memilih wedges bertumit rendah biasanya berkepribadian lembut, fleksibel, santai, dan menyenangkan. à Saya suka keduanya karena pada dasarnya saya memang suka wedges, baik 3,5,7,atau bahkan 9cm…,dengan catatan, untuk wedges lebih dari 7 cm, beri saya platform sekurang-kurangnya 1,5 cm. J. (Eh hey, ternyata di kategori yang lain, sepatu hak tinggi dengan platform menandakan pemakainya itu romantis lhooo….cocok kalo gitu!^^)
  • ·         Sementara di sisi lain, wanita yang memilih sepatu olahraga umumnya memiliki hati yang sangat terbuka namun konservatif dan sulit menerima perubahan. à been there, walau sudah lebih dari 2 tahun pensiun, kecuali ketika jogging. :P)
  • ·         Lain lagi dengan perempuan yang setia dengan sepatu bertumit sangat rendah (bayangkan sol sepatu pria umumnya) overall sangat tau apa yang dia inginkan dalam hidup, tapi mudah lelah dan cepat depresi) à Saya yakin sepatu ini sangat nyaman, tapi entah kenapa tak pernah tergoda untuk mencoba alih-alih membeli…J.
  • ·         Terakhir, pecinta sepatu bertumit datar adalah perempuan yang percaya diri, energik, ramah, feminism, dan cukup puas dengan daya tariknya. à Saya pernah dan masih cinta sepatu ini, walau belakangan frekuensi flat shoes di kaki saya kalah jauh dengan heel wedges. :)
Terlepas dari segala praduga, pendapat, deskripsi, analisis, atau apapun menyangkut korelasi antara karakter perempuan dan sepatu favoritnya, pendapat saya pribadi, evolusi perempuan mungkin sedikit banyak bisa diintip dari perjalanan mereka mencari sepatu yang pas dari hari ke hari dan tahun ke tahun. Dari pasrah dipilihkan sepatu berpita ketika masih bayi, terjebak nyaman dengan sneakers karena sekolah pernah mewajibkan itu, mulai berani memilih sendiri flatshoes saat remaja, yakin dengan pilihan strap wedges hitam saat transisi menuju dewasa, hingga mungkin akhirnya kembali memutuskan mendaratkan kaki diujung senja pada sandal kulit bersahaja dengan hak rendah.  Mungkin sedikit banyak pencarian sepatu yang ‘pas’ menjadi bagian dari pencarian jati diri, karena menurut saya, sepatu adalah benda yang sangat personal. “You cannot put the same shoe on every foot.” - Publilius Syrus - . 

Sama halnya dengan saya, kalau saat ini saya tergoda untuk berlabuh pada boots atau wedges ber-hak 5-9cm saat sebelumnya sudah cukup puas dengan sneakers atau flat shoes, anggap saja itu evolusi dalam komplikasinya pembangunan karakter. Saya tetap saya, dengan atau tanpa alas kaki. Alas kaki hanya membantu saya menapaki hari, menjejaki tempat-tempat yang membuat saya merasa hidup, walau tentu seringkali juga, berlari-lari telanjang kaki bersama ilalang atau hujan yang menetes di bumi adalah hidup itu sendiri. :)

Dan kini, tanpa alas kaki, saya menyudahi tegukan terakhir teh poci yang belum sempat dingin ini, menyelami aromanya, dan terakhir meresapi sisa manis gula batu yang masih betah melekat pada pori perasa lidah ini. Ritual ini selalu berhasil membuat saya menyapa pagi dengan senyum. Senyum yang semoga akan saya tularkan pada bumi hari ini. Karena  “of all the things you wear, your expression is the most important.”  ~Janet Lane. Ritual ini juga selalu sukses mensugesti saya untuk tidak  terburu-buru. Mungkin hidup memang kompetisi, tapi untuk saya hidup bukan balapan, karena dunia terlalu luar biasa untuk dilalui dengan tergesa-gesa. Untuk alasan itu pula detik-detik mendaratkan kaki pada black strap wedges ini adalah jeda waktu penting buat saya, karena ketika kedua kaki saya duduk dengan kokoh disini, saat itu juga saya siap melangkah. Pasti. 

Give a girl the correct footwear and she can conquer the world”  -Bette Midler-