Selasa, 17 Mei 2011

Bandoeng Van Thee

Teh. Ada apa dengan minuman dari rebusan pucuk daun Camellia Sinensis ini? Mengapa pula secangkir teh mampu mewakili diorama saya tentang Bandung? Entahlah…satu yang saya tahu, ketika Bandung membuat saya melonjak-lonjak kegirangan, saya akan turut membaginya dengan segelas teh manis teramat dingin, dan ketika Bandung menampar saya hingga terjatuh-jatuh, saya akan turut membisikkannya  pada secangkir  teh manis hangat. Mohon jangan pertanyakan sebenarnya saya suka teh atau gula. Itu pertanyaan sulit karena saya menganalogikan paduan mereka sebagaimana sepasang contact lens berwarna, lebih baik tidak usah daripada hanya saya pakai sebelah saja. Lebih baik menenggak air putih daripada menikmati teh tanpa gula. Kembali ke sebab akibat mengapa teh, sederhana memang, bukan karena saya tidak berusaha untuk sedikit berfilosofi tentang teh, tapi filosofi itu subjektif, sesubjektif selera perempuan terhadap sepatu. Awas, kesimpulan ini juga saya analisis dengan  subjektif. 

Bandung. Kota yang pernah begitu sederhana dan cantik, tapi jadi tua terlalu cepat karena terlalu banyak make up tapi lupa cuci muka. Kota yang terkenal ayu kaum hawanya, namun mulai sayu pesona alamnya. Surga untuk petualangan garpu dan baju, tapi bisa jadi neraka kalau tak punya doku. Kota yang banyak berpikir tapi sulit bertindak. Kota yang didatangi dengan harapan, untuk selanjutnya tidak pernah benar-benar ‘ditinggalkan’ karena sarat dengan kenangan. Nyaman, walau mulai tak aman. Unik meski masih jauh dari kesan artistik. Kreatif dan inovatif tapi seringkali lambat untuk produktif.  Bandung itu ‘demokratis’ karena kota ini masih memberimu jeda untuk memilih, berjalan santai atau berlari kencang. Kota ini tidak hendak menekan, walau terus menerus ditekan. Ibarat rombongan ibu-ibu yang mengayuh sepeda fixie, tapi dipersiapkan untuk masuk stadion balap. Bukan sebuah ironi memang, hanya sedikit pengkondisian untuk memilih, atau malah dipilihkan. Terlepas dari komparasi fenomenologis yang tentu saja tidak objektif, saya cinta kota ini, walau tidak dengan apa adanya. Dan saya yakin Bandung pun tidak berharap untuk dicintai hanya dengan apa adanya. Dengan tidak menerima Bandung apa adanya, setidaknya saya pernah berniat untuk menjadikan kota ini lebih dari “seadanya”. Ingat, niat saja dicatat malaikat, teman. 

Selanjutnya, blog ini hadir tidak untuk berdiskusi, karena ia sudah cukup puas berbicara sendiri. Layaknya perempuan menilai sapuan eyelinernya sendiri di depan cermin. Memang terlalu berlebihan untuk dicap sebagai sebuah delusi nyata, namun cukup egosentris untuk dimaknai secara jamak. Blog ini ada, tidak untuk berdiri dalam ranah fiksi atau non fiksi, hanya sebuah jaringan kompleks dalam neokortex otak yang saya sederhanakan dengan menulis, seperti arsitek yang menyederhanakan ide dengan menggambar, lepas dari perkara benar atau salah, bagus atau jelek. Sekolah dan pekerjaan sudah cukup menjadikan hidup begitu serius dengan memberi ujian dan penilaian, blog ini adalah jam istirahat saya, untuk meracau, merapikan lengan blouse, menikmati jajanan pinggir jalan, dan terakhir memaknai hidup dalam kebahagiaan yang saya ciptakan sendiri.  

Singkat kata, jangan berharap banyak, ini cuma catatan kecil saya tentang ‘Bandung’ dalam secangkir teh yang hampir dingin…

4 komentar:

  1. selamat datang, semoga semakin banyak rasa teh yang bisa kita sesapkan sambil menikmati aroma bandung yang tak kunjung membosankan ^_^

    BalasHapus
  2. selamat mampir paw,,,^^,,rajin-rajinlah berkunjung, kenikmatan ini memang untuk dibagi...:P

    BalasHapus
  3. keren bgt blog nya,,punya siapa ya?

    BalasHapus