Senin, 30 Mei 2011

Refleksi dalam Secangkir Painkiller Hangat...


Terluka itu gak papa. :).

Terluka membuat saya tahu sakit itu apa, untuk kelak saya berpikir puluhan bahkan ratusan kali untuk menyakiti.

Terluka membuat segala elemen tubuh saya kompak, kompak merasakan sakitnya sekaligus kompak memikirkan cara untuk mengatasi sakitnya.

Terluka itu adil. Karena saya percaya, saya terluka karena pernah melukai. Dan saya terluka untuk membayarnya agar impas.

Terluka itu biasa. Biasa karena dengan merasakan sakitnya saya sadar kalau saya manusia biasa. Biasa karena ia terjadi hanya sekali dari sekian banyak saya berlari, melompat, dan menari. Ia bukan apa-apa dibandingkan sekian banyak pencapaian diri.

Terluka itu jeda. Terluka memberi saya ruang untuk merefleksikan diri. Terluka membuat saya berhenti sejenak, untuk selanjutnya belajar lebih berhati-hati. Terluka membuat saya bertanya, bukan pada siapa-siapa, tapi pada diri sendiri. Terluka memberi saya jeda untuk lebih memahami diri sendiri.

Terluka itu manusiawi. Toh saya lahir dengan tak sengaja melukai mama untuk selanjutnya mati sebagai jasad yang dikubur dengan melukai bumi.

Terluka itu bukan duka. Terluka ada bukan untuk diratapi. Terkadang malah tak harus diobati karena kelak toh ia akan sembuh sendiri. Tapi jika tak tahan sakitnya, sedikit dosis painkiller sah sah saja, karena saya manusia.

Terluka adalah ruang. Ruang untuk berterimakasih pada siapapun yang tetap ada saat saya sakit menahan luka, sekaligus ruang untuk meminta maaf pada siapapun yang sempat terabaikan hingga terluka saat saya lupa karena terlalu sibuk berbahagia.

,,,,,

Jadi, telah saya putuskan sejak lama untuk berdamai dengan luka dan yang melukai, karena dengan itu, Tuhan mengingatkan bahwa hidup memang selalu patut untuk disyukuri….:)



*ditulis dengan senyum,..
 serta secangkir teh manis hangat…,,salah satu dari sekian banyak painkiller saya untuk sebuah ruang yang lebih luas dari bumi, dan itu saya namakan….,,
"Hati…"

Rabu, 25 Mei 2011

Les Quinze Nitz, Dagostraat, dan Secangkir Teh Apel Hangat

Sore yang  cerah hari ini membuat saya ikhlas menapaki ribuan meter dari estatua de colon hingga placa de catalunya yang nyatanya memang tidak sampai 2 kilometer. Untuk orang tropis seperti saya, suhu 63 F  ini memang agak dingin, karena itu artinya selisih 6 celcius lebih rendah dari suhu normal rata-rata di Bandung.  Beruntung beberapa hari lalu Lefties yang hanya berjarak selemparan batu dari placa de catalunya , menjual  separuh harga  untuk sepotong Trench Coat  Zara coklat muda. Lucky me for having this gorgeous coat for only 24 €. That’s one of my best deal here, anyway. Dengan menggulung rambut dengan bandana dan sedikit kamuflase topi ala baker atau newsboy cap (semoga saya hanya diduga sedang bad hair day) serta shawl abu-abu muda (penggunaan fullveil atau jilbab dilarang di ruang public Barcelona, entah sejak kapan) saya pun menerobos  riuh rendahnya Las Ramblas, Barcelona. 

Sayup sayup lagu Mana - Lluvia Al Corazon terdengar dari sebuah outlet souvenir, walau tentu kalah telak dengan hiruk pikuk turis yang asyik masyuk menonton street performance di sekitar patung Frederich Soi szobra. Pesona Las Ramblas yang sangat festive membuat saya banyak berhenti lama. Barcelona memang gudangnya pertunjukan jalanan yang spektakuler. Ada yang melumuri dirinya dengan cat putih dan mematung bak Charlie chaplin nongkrong di closet, ada pertunjukkan seni bela diri oleh satu kelompok orang yang saya duga dari asia, dan ada juga penampilan ciamik dari duo Spanish guitarist yang sukses menahan napas saya untuk beberapa detik (dan untuk ini saya melebihkan sedikit euro dengan pertimbangan bahwa mereka berdua berhasil menggeser Vamosia di Helsinki yang sebelumnya menjadi top 5 dalam daftar saya). Hat off untuk perjuangan para street performers mengumpulkan euro demi euro. Walau memukau, tidak jarang aksi dari beberapa street performes membuat saya gigit jari  karena mereka yang mematung, tetap diam tak bergeming ketika saya melemparkan satu koin euro saya. Ah, gaji buta. :D. 

Ketika lampu-lampu cantik mulai menyala, tepat di muka Burger King,masih di radius monument to Pittara,   saya dilema. Take it for granted untuk menu familiar dengan harga sepadan, atau lempar koin antara Les Quinze Nitz dengan Taxidermista yang artinya saya harus berjalan lagi kurang lebih 400 meter ke Placa Reial. Setelah menghitung kancing coat yang memang tidak seberapa, saya pun resmi melempar koin tepat di depan fountain three graces, Placa Reial. Akhirnya, Les Quinze Nitz, dengan konsekuensi saya masuk daftar tunggu yang ke 11!Ternyata antrian tidak hanya terjadi di kantor pajak atau kantor imigrasi di Indonesia. >_<! Baiklah, berhubung waktu kunjung saya di Barcelona kali ini cukup panjang, antrian beberapa puluh menit mungkin tidak seberapa. Walau saya sadar betul, berharap terlalu banyak, hanya akan mengecewakan kalau apa yang kelak didapat tidak membayar segala kelelahan saya mengantri. Life is beautiful. Let’s accept it with no exception. Barcelona bukan Bandung yang bahkan ketika kamu memandang sebelah mata dengan tampilan dan atmosfer suasananya, hampir tidak ada makanan yang betul-betul mengecewakan. Di Barcelona, you should put your less of expectation about food, dan bersiaplah untuk sekali-sekali menelan makanan yang mungkin lebih buruk dari biasa-biasa saja. Ini berdasarkan kacalidah orang Indonesia tentu saja, yang sangat teramat Oh My God subjektif sekali pisan!

Dan here's the deal of my less expectation. 15 menit pertama saya begitu sabar mengantri, walau saya agak merasa bodoh kenapa saya harus mengantri padahal di dalam ada sekitar 5-7 meja kosong tanpa reservasi. 15 menit kedua beberapa turis di depan saya mulai gundah gelisah. Penderitaan ini pun berakhir di 15 menit ketiga. Pada menit tersebut akhirnya saya yakin antrian ini mungkin semacam trik. Trik untuk sebuah pencitraan diri. Karena hampir semua turis ini rela mengantri karena penasaran dengan antrian. Sebuah jebakan rantai ekspektasi yang sukses besar. Dan setelah ratusan atau bahkan ribuan kali berkedip, here I am, menikmati beberapa starter, main course, dan dessert dengan ambience Placa Reial yang just too good to be true. Lampu rancangan Gaudi bersinar bersahaja dimana-mana. Speechless for the atmosphere

Setelah menikmati Tuna steak dengan soy sauce dan Catalunya Crème (bayangkan Crème Bruelee) yang ternyata sama sekali tidak buruk, saya memesan kopi dan Bailey ice cream untuk melengkapi a quite nice environment of Placa Reial. Tepat di sendok es krim terakhir, saya mendengar sayup suara lonceng yang makin lama makin nyaring. Mencari sumber suara, mata saya berputar mengitari deretan bangunan bergaya Renaissance dari sudut Taxidermista hingga pojok Cerveceria Alex. Belum sampai mata saya ke arah Pipa club yang letaknya tidak jauh dari Les Quinze Nitz, semua bangunan tiba-tiba  berdistorsi untuk selanjutnya semakin mengerucut ke atas, ke satu titik hilang yang akhirnya menelan Placa Reial dan seisinya dalam satu kedipan mata. Sensasi gelap dan terang berganti seiring tangan saya yang menjelajah mencari mangsa. Refleks ibu jari saya menekan “dismiss”. Ternyata lonceng itu adalah alarm jam 4 sore saya, yang artinya 90 menit sudah saya mengalah pada mata untuk mengizinkan kelopaknya menutup. Selama itu pula Las Ramblas jadi setting sempurna mimpi singkat saya. Mimpi yang selanjutnya membuat sore di Bandung jadi lebih dramatis di mata saya. Sedramatis seduhan teh  apel hangat yang tidak akan pernah saya tukar dengan House Red Winenya Les Quinze Nitz walau katanya itu worth the price. Kata Bang Rhoma, itu haram, sodara-sodara.:D.

Secangkir teh aroma buah ini mengingatkan saya akan satu hal, kenapa Bandung tidak punya Las Ramblas? Sudah ada sedikit usaha di Braga,memang, tapi pejalan kaki tetap tidak jadi raja. Tertekan oleh deretan mobil dan motor yang parkir parallel, lalu lintas kendaraan yang hampir selalu padat merayap di atas jalan berpaving yang katanya pedestrian friendly. Mungkin ‘Bapak’ yang duduk disana boleh jadi berbangga hati dengan menambahkan prasasti sebagai tanda telah merevitalisasi Jalan Braga, tapi honestly speaking, bagi saya PR Bandung untuk revitalisasi heritage site macam Braga masih segunung. 

Las Ramblas dan Barcelona mungkin bisa jadi contoh dedikasi sebuah Kota yang secara sadar merenovasi kotanya melalui arsitektur, seni, dan desain. Renovasi arsitektural jadi bermakna sangat luas, karena urban renewal berbicara dalam bahasa yang lebih dari konteks perancangan bangunan. Dalam ranah yang lebih mikro contohnya, dimana plaza, jalan, dan taman, bukan dijadikan akibat dari geometri abstrak yang pasrah hanya jadi konsekuensi.  Mereka adalah elemen yang memang dirancang sesuai dengan topografi, skala tapak, dan elemen arsitektural di sekitarnya. Kira-kira begitulah saya menerjemahkan sedikit penyataan Sola Morales tentang square, avenue, and public garden.
 
Dalam hal ini arsitek punya peran yang sangat fundamental, karena mereka turut mentransformasikan ruang-ruang ‘domestik’ menjadi ruang-ruang publik. Tradisi arsitek yang biasanya hanya memberi perhatian ekstra  terhadap aspek detail pada ruang-ruang privat, kini diterapkan pada perancangan ruang publik. Such a great move ketika disaat yang sama  Bandung luput memperbaiki jalur pedestrian, enggan menambah ruang publik yang layak, serta absen mengatur regulasi untuk konservasi bangunan tua di sepanjang Jalan Dago dengan alih-alih melabelnya menjadi floating zone. “Zona Mengambang”, sebuah istilah yang tidak saya temukan pada pedoman peta zonasi manapun. Karena di mata saya istilah tersebut adalah salah satu istilah paling galau dalam dunia urban design karena itu berarti berbagai fleksibilitas dalam perizinan dimungkinkan namun tetap dibawah control pemerintah.  Istilah yang mungkin hanya boleh dipakai dalam keadaan darurat dimana para pemangku kebijakan yang memang sedang galau, berpikir keras untuk menetapkan peraturan zonasi yang lebih baik untuk sebuah kawasan dengan berbagai benturan kepentingan. 

Dan nyatanya, fleksibilitas itu memang ada, bahkan dalam dosis yang berlebih hingga segalanya menjadi boleh untuk ‘ada’. Dago yang awalnya dikenal sebagai Dagostraat semakin mengapung, terlena, dan mungkin semakin jauh menapak bumi. Romansa sebuah kota yang berada di urutan ke 9 sebagai Kota Art Deco di Dunia terbuyarkan sudah dengan billboard dan papan iklan dimana-mana. Cladding dianggap lebih bersuara untuk menarik massa, sehingga dianggap layak untuk membungkus apa yang lebih pantas disebut karya. Apakah ini perjalanan sebuah kota menuju amnesia? Entahlah, saya yang seringkali asal berbicara ini terlalu naïf untuk menganalisis fakta atau bahkan sekedar memprediksi dan menduga-duga. :). 

Sebelum menghabiskan teguk terakhir dari cangkir teh apel saya yang memang belum sempat dingin, saya melayangkan pikiran sejenak. Menembus perspektif, menuju distorsi, dan titik hilang yang persis klimaks Placa Reial di mimpi saya. Menapaki  Dagostraat, sebuah avenue yang kali ini didedikasikan sepenuhnya untuk public. Ada mahasiswa yang rela berjalan kaki menuju kos-kosannya di daerah sekeloa dan gasibu. Ada komunitas pecinta skateboard yang unjuk gigi di salah satu tepi. Ada ruang untuk pertunjukkan angklung atau seniman jalanan berbakat. Ada street vendor dengan menu utama jajanan khas tanah sunda. Ada keluarga kecil bahagia yang menemani putri kecilnya belajar berjalan. Ada turis asal Surabaya dan backpacker asal Rusia. Ada senyum dan tawa pertanda ruang publik memang membuat mereka bahagia. Dan tentu saja ada saya, yang kali ini tanpa kamuflase newsboy cap, atau shawl abu-abu muda, karena kota ini terbuka untuk siapa saja, dari berbagai ras, agama, dan budaya. Flexible in a positive way seperti fleksibelnya teh yang tetap menjadi teh walau dipadu dengan buah. 

Dan akhirnya, manisnya teh apel yang sempat mampir di lidah saya turut menerjemahkan manisnya harapan saya akan Bandung di waktu kelak,,

Tanpa sedikitpun  skeptis atau pesimis, saya yakin, Bandung Bisa! :).





                                 

Sabtu, 21 Mei 2011

Prolog Sepasang Boots, Kupu-Kupu Dalam Ruang, dan Segelas Teh Lemon Dingin

“Cuma 7 cm kok, iya,… hak ankle boots ini memang cuma 7cm.” :P. 

Sebuah monolog singkat antara saya, sepasang boots hitam dan segelas penuh teh lemon dingin.  Berbicara tentang boots, ini adalah boots pertama sekaligus jadi salah satu alas kaki favorit saya untuk menyapa dunia luar, dimana sementara ini dunia luar saya adalah 70% kampus, 20% kafe ber-teh dan wifi, dan 10% lain-lain. Usut punya usut, boots ini berjasa besar dalam fase metamorfosa diri saya. Tentu belum seutuhnya menjadi kupu-kupu dewasa, tapi setidaknya, fase kepompong terlewati sudah. Fase yang membuka indera  saya terhadap warna, aroma, irama, rasa, dan makna segala peristiwa. Boots ini juga yang menggantikan sepersekian rasa dari sebuah hal baik yang tiba-tiba hilang dari hari-hari saya. Hidup nyatanya memang tidak hanya perkara belajar menghilangkan hal-hal yang buruk, tapi sekaligus kehilangan  hal-hal baik, bahkan mungkin sangat baik. :)

So, here I am,,ber-alas kaki boots kebanggaan tadi, duduk manis dan autis di sofa pojokan dengan meja bundar lengkap dengan laptop, hardisk external, headphone, notebook hitam kesayangan, segelas teh lemon dingin, tahu krispi panas, dan sebuah ponsel yang katanya ‘pintar’ (walau saya agak ragu apakah ponsel ini memintarkan saya juga?). Setelah saya perhatikan dengan seksama, meja bundar ini ajaib juga, menampung seluruh benda-benda ajaib ini dimana setiap benda tidak saling mengintervensi satu sama lain. Good Job, Kafe Kupu-Kupu, Well done, My black boots! (Tidak semua sebab akibat itu secara eksplisit berhubungan, saudara-saudara, termasuk diantaranya meja bundar dan sepasang ankle boots!)

Baiklah, sebelum saya melanjutkan meracau tentang boots di postingan blog selanjutnya, izinkan saya mendeskripsikan sedikit saja tentang tempat favorit saya untuk menyendiri ini. Saya lupa kapan pertama kalinya saya memutuskan untuk mampir di kafe ini. Yang saya ingat, saya memutuskan mampir akibat tidak tahan untuk tidak mengomentari replika beberapa kupu-kupu warna warni sebesar ban mobil yang bertengger di dinding eksterior kafe ber-cat cardinal - upsdell red ini.Sungguh eyecatcher yang terlalu harfiah, menurut saya. Mungkin replika kupu-kupu masih tetap menarik kalau monokrom, baik itu dengan material kayu,atau kawat besi. Mungkin jumlahnya diperbanyak dengan varian ukuran replika yang lebih beragam atau satu saja, tapi powerful. Kalau masih kurang eyecatchy, penambahan lampu LED beras yang dililit di replikanya juga bisa menarik. Dengan catatan, untuk malam hari, biarkan dinding tanpa pencahayaan tambahan sehingga kupu-kupu menjelma jadi kunang-kunang malam yang cantik. Sekian komentar dan usul subjektif saya.  Tapi diluar itu, saya memang penasaran dengan desain keseluruhannya, karena diintip dari luar ada bambu dan kayu yang sukses jadi pemanis untuk massa bangunan yang memang seadanya. Setelah berkali-kali hanya lewat saja, tiba juga harinya dimana,  Oke, anda menang,  saya mampir. 

Kesan pertama, menyenangkan. Kesan kedua, menyenangkan. Kesan ketiga, masih menyenangkan. Tidak ada tukang parkir yang minta seribu lagi ketika saya sudah bayar. Tidak ada pelayan yang menawarkan untuk membersihkan meja atau dengan bahasa halus menyuruh saya pergi kalau tidak berniat  memesan lagi. Tidak ada alat pengkondisian udara karena memang sudah sejuk dari sananya. Tidak ada service tax yang dibebankan kemudian. Ada mushalla. Ada suara gemericik air dari kolam ikan kecil.Ada detail bambu menarik di jendela. Ada outdoor terrace di lantai 2.  Ada buku-buku yang gratis dibaca ditempat. Ada air, angin,   dan ada view. Ada satpam (bukan tukang parkir illegal). Ada senyum. Ada musik yang mengalun pelan (mengingatkan saya pada berlebihannya volume speaker ngopi doeloe yang seringkali membuat saya harus agak berteriak ketika menumpang berdiskusi disana). Ada wifi. Ada menu-menu enak yang terjangkau kantong mahasiswa seperti saya. Dan terakhir ,  ada diskon 15% untuk yang  mention @kafekupu2 di twitter. Tidak heran kalau saya sering lupa bahwa saya sedang tidak dirumah sendiri ketika sadar bahwa saya sudah berjibaku disana 9 jam penuh dari 12 siang bolong hingga jam 9 malam ketika si kafe siap-siap tutup. Almost Perfect Atmosphere ever! Sungguh saya sama sekali tidak dibayar untuk ini (mengacungkan telunjuk dan jari tengah dan memasang muka sungguh-sungguh).

Saya menyeruput sedikit teh lemon yang sudah nyaris hilang dinginnya. Kali ini gulanya pas, setelah sebelumnya agak terlalu manis. Mengingat lemon baik untuk kesehatan tulang dan gigi, irisan lemon diatasnya saya cicipi juga sedikit. Semoga ia bekerja dengan baik. Selain gula di teh lemon, tahu krispi pedasnya juga pas, pas untuk sore yang cerah tapi dingin. Saya lirik sudut layar, 16:05, saatnya break sejenak untuk turun dan solat ashar. Sambil beranjak, saya memesan bandrek sebagai pengganti kopi sore. Menuruni tangga kayu, hak sepatu boots saya beradu membelah sunyi, dan saya selalu suka sensasinya…,

Sexy. ;)






*catatan penting : jangan pernah mencari kafe ini di Kota Bandung, karena ia masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Bandung Barat. (Loh, kan saya yang memutuskan hal apa yang mewakili Bandung di mata saya,,,boleh dong walaupun bukan kota? :P)

Rabu, 18 Mei 2011

Asistensi, ‘Bunga’ dan ‘Budi’, serta Secangkir Teh Pekat Dingin…

Sebenarnya timbangan badan saya tidak perlu menyentuh angka 5 andaikata setiap pagi saya rela menyisihkan sebagian nafsu indera pengecap dengan “hanya” menikmati secangkir teh pekat hangat dan sepotong pisang bakar beroles sedikit mentega seperti pagi ini. Hangat, nikmat, dan tentu saja manis :) . Bukan tanpa alasan sebenarnya saya meluangkan sedikit waktu untuk membakar sepotong pisang tanduk kiriman tetangga ini. Saya rindu pisang bakar Tahura (Taman Hutan Raya, Dago Pakar). Jajanan sederhana dengan kenikmatan yang sempurna di lidah saya.   4000 rupiah saja untuk sepotong pisang besar yang dibakar utuh dengan kulitnya, beserta sepiring kecil gula aren sebagai cocolan. Sepadan untuk paket yang sebenarnya priceless menurut saya. Terbukti beberapa saat setelah itu, tanpa kelelahan saya melanjutkan jalan kaki 3 km selanjutnya menuju Maribaya (mengkambing hitamkan sepotong pisang untuk sebuah pencapaian positif itu sah sah saja,bukan?). 

Mungkin deskripsi kerinduan saya akan pisang bakar ini terlalu panjang mengingat Tahura dan tracknya harus jadi edisi khusus tersendiri di blog ini. Tapi, ya kira-kira begitulah motif utama keberadaan teman teh pekat saya pagi ini. Teh pekat yang muncul tak sengaja karena saya terlalu lama menyelupkan kantung tehnya, bukan karena saya butuh obat diare. :P. Alhasil takaran gula yang saya tuangkan pun jadi berlebih. Itulah gunanya Tuhan menciptakan tebu untuk diekstraksi menjadi gula, bukan? Agar bisa menetralisir pahitnya hidup?*Ha..ha..ha…*

Day maker saya pagi ini ternyata bukan hanya secangkir teh pekat dan pisang bakar, tapi juga ‘Bunga’ dan ‘Budi’  (bukan nama sebenarnya) yang saya pelototi dengan seksama di layar kaca. ‘Bunga’ jadi tamparan keras saya pagi ini yang begitu ciut menghadap pembimbing hari ini hanya untuk  sebuah asistensi thesis tugas akhir. Betapa tidak, ‘Bunga’ yang tinggal di sebuah desa terpencil  di Subang ini, harus berjalan kaki sejauh 7 km untuk ke sekolah setiap harinya. 7000 meter ini juga bukan jalan lurus beraspal, tapi pematang sawah, aliran sungai sedalam lutut orang dewasa,dan  jalan becek berlumpur. Tidak heran kalau ‘Bunga’ tiba di sekolah dengan tubuh sudah sepertiga basah dan kotor. Belum berhenti sampai disana, karena setelah  pulang sekolah (berarti 14 km jarak pulang pergi) ‘Bunga’ masih harus mengumpulkan uang untuk bayaran sekolah dari hasil memberi makan ayam dan kambing TETANGGAnya dengan upah Rp. 500,- /HARI (BACA: setengah nominal rata-rata biaya buang hajat di toilet umum di Bandung). *PLAKK*. ‘Tamparan’ pertama mendarat mulus di pipi saya. 

Lain ‘Bunga’ lain juga ‘Budi’ (bukan pula nama sebenarnya), ayah dua anak ini ikhlas menempuh belasan kilometer tanpa alas kaki untuk belajar membaca di sebuah kelas beratap langit di tengah hutan Kalimantan. Keinginannya cuma satu, bukan untuk mengubah keadaan ekonomi keluarga, Ia hanya ingin melek huruf agar kelak dua anaknya yang saat ini masih kecil-kecil ada yang mengajari membaca. Usaha luar biasa untuk sebuah harapan yang begitu sederhana. *PLAKK PLAKK*.  Kali ini yang ‘sakit’ bukan pipi, melainkan ulu hati saya. 

Seketika saya meletakkan cangkir teh pekat yang masih setengah isi di meja untuk mengirim pesan singkat pada dosen perihal permohonan untuk bimbingan thesis hari ini. ‘Bunga’ dan ‘Budi’ sukses menampar saya bolak-balik pagi ini dengan kegigihan mereka menggapai mimpi dengan ber’sekolah’.  Syukurlah ‘Bunga’ dan ‘Budi’ tak pernah sekalipun mencium bau sampah keluhan-keluhan saya dalam ‘menikmati’ sekolah  di Kota yang menjadi salah satu rujukan untuk fasilitas pendidikan tinggi terbaik bangsa ini. Walau saya tidak terlalu yakin apakah predikat besar  ini sepadan dengan besarnya kontribusi lulusannya untuk turut memajukan pendidikan bangsa. Kembali, andaikata ‘bau’ keluhan saya tercium ‘Bunga’ dan ‘Budi’, tentu saya bukan hanya ditampar, tapi juga ditendang dan dicacimaki. Sudah sekolah ‘lanjutan’  gratis dengan jarak tempuh 5km, berkendaraan pula,  dan berangkat dari rumah dengan perut kenyang serta pakaian bersih dan wangi,  “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” ….. sebuah pertanyaan Tuhan untuk diri saya sendiri, teman-teman serta adik-adik yang terkadang lupa bersyukur telah mampu mengenyam pendidikan layak tanpa effort  luar biasa besar seperti ‘Bunga’ dan ‘Budi’.  “Segala Puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam”….

Entah karena prolog dan niat baik di pagi hari, atau karena hari ini saya tidak lupa mengucap syukur, asistensi saya kali ini melegakan sekali.  Sangat melegakan untuk dideskripsikan dengan ‘ngebelah atmosfer berlapis-lapis meluncur bareng paus akrobatik dan dilempar ke rasi bintang paling manis’…CMIIW. :P .  Tidak berlebihan rasanya kalau bahagianya saya sandingkan dengan membuncahnya perasaan insan yang sedang  jatuh cinta ( bukan tanpa alasan, tentu karena saya pernah merasakan keduanya :P). Dan berbeda dengan jatuh cinta (sungguh tidak berniat curhat colongan), hingga detik ini meski harus jatuh berkali-kali, satu hal yang hampir tidak pernah membuat saya patah hati adalah : "belajar". 

Sedikit konklusi, hari ini saya bahagia. Bahagia dengan cerita yang tentu saja berbeda dengan kebahagiaan saya di hari-hari sebelumnya.  Satu hal yang saya yakini, bahwa kebahagiaan itu perasaan yang selalu ada di dalam hati, no matter what. Dan detik ketika kita merasa tidak bahagia adalah detik saat kita mengabaikan rasa syukur di dalam hati untuk mengejar kebahagiaan yang sesungguhnya tidak ada atau mungkin kebahagiaan yang belum menjadi hak kita. :)

Akhir kata,  penghujung hari ini saya tutup dengan menyudahi sisa teh pekat tadi pagi dengan kandungan polifenol yang tentu saja sudah hilang. Tepat di tetes terakhir saya sertakan sedikit janji bahwa esok minuman dalam cangkir tersebut akan habis sebelum antioksidannya lenyap. Dan bersyukurlah hanya zat pencegah penuaan itu yang bisa hilang setelah seduhan 3 jam pertama, kebahagiaan tak pernah dibatasi waktu. Bahkan saat nyawa tak lagi ada, bahagia masih tetap bisa diwariskan bagi nyawa hidup yang ditinggalkan.

 Maka,…tersenyum dan berbahagialah. ^^

Selasa, 17 Mei 2011

Bandoeng Van Thee

Teh. Ada apa dengan minuman dari rebusan pucuk daun Camellia Sinensis ini? Mengapa pula secangkir teh mampu mewakili diorama saya tentang Bandung? Entahlah…satu yang saya tahu, ketika Bandung membuat saya melonjak-lonjak kegirangan, saya akan turut membaginya dengan segelas teh manis teramat dingin, dan ketika Bandung menampar saya hingga terjatuh-jatuh, saya akan turut membisikkannya  pada secangkir  teh manis hangat. Mohon jangan pertanyakan sebenarnya saya suka teh atau gula. Itu pertanyaan sulit karena saya menganalogikan paduan mereka sebagaimana sepasang contact lens berwarna, lebih baik tidak usah daripada hanya saya pakai sebelah saja. Lebih baik menenggak air putih daripada menikmati teh tanpa gula. Kembali ke sebab akibat mengapa teh, sederhana memang, bukan karena saya tidak berusaha untuk sedikit berfilosofi tentang teh, tapi filosofi itu subjektif, sesubjektif selera perempuan terhadap sepatu. Awas, kesimpulan ini juga saya analisis dengan  subjektif. 

Bandung. Kota yang pernah begitu sederhana dan cantik, tapi jadi tua terlalu cepat karena terlalu banyak make up tapi lupa cuci muka. Kota yang terkenal ayu kaum hawanya, namun mulai sayu pesona alamnya. Surga untuk petualangan garpu dan baju, tapi bisa jadi neraka kalau tak punya doku. Kota yang banyak berpikir tapi sulit bertindak. Kota yang didatangi dengan harapan, untuk selanjutnya tidak pernah benar-benar ‘ditinggalkan’ karena sarat dengan kenangan. Nyaman, walau mulai tak aman. Unik meski masih jauh dari kesan artistik. Kreatif dan inovatif tapi seringkali lambat untuk produktif.  Bandung itu ‘demokratis’ karena kota ini masih memberimu jeda untuk memilih, berjalan santai atau berlari kencang. Kota ini tidak hendak menekan, walau terus menerus ditekan. Ibarat rombongan ibu-ibu yang mengayuh sepeda fixie, tapi dipersiapkan untuk masuk stadion balap. Bukan sebuah ironi memang, hanya sedikit pengkondisian untuk memilih, atau malah dipilihkan. Terlepas dari komparasi fenomenologis yang tentu saja tidak objektif, saya cinta kota ini, walau tidak dengan apa adanya. Dan saya yakin Bandung pun tidak berharap untuk dicintai hanya dengan apa adanya. Dengan tidak menerima Bandung apa adanya, setidaknya saya pernah berniat untuk menjadikan kota ini lebih dari “seadanya”. Ingat, niat saja dicatat malaikat, teman. 

Selanjutnya, blog ini hadir tidak untuk berdiskusi, karena ia sudah cukup puas berbicara sendiri. Layaknya perempuan menilai sapuan eyelinernya sendiri di depan cermin. Memang terlalu berlebihan untuk dicap sebagai sebuah delusi nyata, namun cukup egosentris untuk dimaknai secara jamak. Blog ini ada, tidak untuk berdiri dalam ranah fiksi atau non fiksi, hanya sebuah jaringan kompleks dalam neokortex otak yang saya sederhanakan dengan menulis, seperti arsitek yang menyederhanakan ide dengan menggambar, lepas dari perkara benar atau salah, bagus atau jelek. Sekolah dan pekerjaan sudah cukup menjadikan hidup begitu serius dengan memberi ujian dan penilaian, blog ini adalah jam istirahat saya, untuk meracau, merapikan lengan blouse, menikmati jajanan pinggir jalan, dan terakhir memaknai hidup dalam kebahagiaan yang saya ciptakan sendiri.  

Singkat kata, jangan berharap banyak, ini cuma catatan kecil saya tentang ‘Bandung’ dalam secangkir teh yang hampir dingin…