Jumat, 14 Oktober 2011

www.bukalapakbaru.com

Setelah mengingat dan mempertimbangkan dalam tempo yang relatif singkat, akhirnya dengan senang hati saya memutuskan bahwa sebagian dari isi blog ini akan berpindah, berhubung beberapa konten diantaranya menodai kesucian daun teh yang susah payah saya seduh dari awal. :D. Segala hal menyangkut perpindahan lapak serta link, akan saya selesaikan dalam tempo yang mungkin tidak singkat, berhubung kegalauan akademis saya nyatanya semakin memuncak beberapa bulan terakhir ini...he..he...

Adapun (pembimbing saya bilang, kata "adapun" di laporan thesis saya overdosis) kapling blog selanjutnya mungkin berupa shortcut terpendek dari hati dan otak yang sengaja maupun tanpa sengaja dipikir atau terpikir, dirasa atau terasa,  bisa galau, senang, rusuh, malu-malu, kesal, gemas, berbunga-bunga, berbuih-buih,,,bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk putra putri saya kelak, yang mungkin saja suatu saat nanti iri melihat teman2nya punya album foto maupun buku diary lama ibunya,,,dan saya dengan segala keterbatasan dalam menyimpan apik dokumen penting, foto-foto,curhatan, dengan teramat sadar memanfaatkan media gratis dan go-green ini (well, oke, saya ngeles) untuk merekam segala perjalanan. Perjalanan hingga tiba detik-detik mereka bisa mengetik sendiri alamat blog bundanya....=)

".......www.bahagia-itu-tika.blogspot.com......."




14 Oktober 2011

Diketik dengan kesadaran sendiri tanpa pemaksaan pihak manapun...=D

Selasa, 20 September 2011

the 3rd love letter....without any cup of tea...:)

Dia,,,
adalah kejutan yang datang menyeruak, namun dengan teramat manis mengetuk pintu, membuka alas kaki, dan duduk manis di beranda sebelum dipersilahkan masuk....

Dia,,,
adalah keyakinan yang tiba tepat pada waktunya, yang bahkan tak memberi ruang untuk ragu menempel bak debu atau bimbang menyela dan mengganggu...

Dia,,,
adalah rombongan kebahagiaan yang dengan manis diantar Tuhan, sekelebat cepatnya cahaya menembus ruang dan waktu....

Dia,,,
adalah mimpi yang lancang menyalip antrian, namun selanjutnya memeluk seluruh deretan mimpi lainnya, lalu menegakkan mereka di bumi hingga semakin dekat dan nyata...

Dia,,,
adalah kesabaran yang memahami, kecerdasan yang mengajari, kedewasaan yang mengayomi, dan ketulusan yang menaungi...

Dia,,,
adalah partner terbaik dalam kelas akselerasi, bukan karena terburu-buru, tapi karena cinta seringkali membuat waktu terasa cepat berlalu, hingga kita memilih berlari-lari kecil, bukan? :)

Dia,,,
adalah pagi, siang, malam, kemarin, dan besok-ku....yang hadir tanpa kecuali....mengisi, memenuhi, memaafkan, mengasihi, dan mencintai....

Dia,,,
adalah diam dan henti ku saat ini,....
karena detik ini kata-kata kalah telak dari airmata, 
pertanda jiwa yang terlalu berbahagia.....


And finally, Thank God, he is you…. ,Agustomo Akhmadiansyah-ku.....



Minggu, 11 September 2011

110911,,,When our love walk one step closer.....

Bismillah,,,


Today, you got me nothing to hope,,,except,,,being with you....
Today, you got me nothing to see,,,except,,,sincerity in your eyes...
Today, you got me nothing to dream,,,except,,living happily ever after beside you...
Today, you got me nothing to ask,,,except,,,health, happiness, and blessing for us and our big family...
Today, you got me nothing to believe,,,except,,,God and How wonderful my life could be with you....

And most importantly,,,today, you got me nothing to say,,,except,,,
.................."Yes, I do"..................



And Thank God We're officially engaged, Agustomo Akhmadiansyah....,,Semoga Allah Meridhoi , Semoga Allah Memudahkan Segala Urusan, dan Semoga Allah Mempersatukan dalam Ikatan Halal yang tidak akan pernah putus....Amien.

11-09-2012

Rabu, 31 Agustus 2011

Miss me?


Well, saya rindu menulis….

Tiba-tiba saja jatuh cinta, nyatanya membuat saya mandul menulis, mandul menumpahkan segala emosi dengan meracau dalam bahasa non verbal, mandul berlari-lari dan berputar-putar hanya untuk menemukan kata yang pas untuk mendeskripsikan kusutnya isi otak saya. Ah, sungguh mulai mempertanyakan seberapa besar saya meminati dunia bisu dan pasif ini. Sungguh malu menyebut diri ini cinta menulis. Blame it to him,,,blame it to him,,,yang menggenangi seluruh dahaga bercerita saya dalam lagoon yang nyaris tak dapat saya lihat tepiannya, saking luasnya. Dan kamu bukan fatamorgana, sayang, karena kamu nyata. Nyata membuat saya (beberapa saat terakhir ini ) lebih suka sensasi saraf motorik pada bibir dan pita suara daripada jari dan otot-otot disekitarnya. Ah, Damn. 


Baiklah, saya sungguh rindu menulis…

Melebihi rindu saya pada bodybutter minyak zaytun yang belum sempat terbeli karena lupa, melebihi rindu saya pada rumraisin chocolate ice cream yang sulit saya sapa karena langka, dan melebihi rindu saya pada thesis yang belum saya sudahi entah karena apa…(saya tau pasti kenapa, tapi ini off the record…:D),,,


Hfffhhhh,,betapa saya rindu menulis….

Rindu berkontemplasi dalam hening, menatap dalam diam, berpikir dalam sunyi, untuk selanjutnya berbisik-bisik sendiri dalam sepi. Mengawang ngawang, menapak bumi, berlari-lari. Bersolek tanpa make up, mengunyah tanpa gigi, dan merancang tanpa sketsa. Saya rindu ruang abstrak ini, ruang yang menghadirkan saya apapun, membiarkan saya membuka jendela manapun, dan menggila dalam kata kapanpun.
Ahhh,,,maaf untuk merindu tanpa bukti, paling tidak saya sudah berbesar hati mengakui bahwa,,,

Saya Rindu Menulis, sungguh….




*Semoga pangeran penunggang unicorn yang pulang besok tidak sempat cemburu karena rindu… ;)

Rabu, 03 Agustus 2011

Kamu dan Aku, tanpa cangkir apapun...,,Hanya Kita...Saja.





You can ask me anything why I always love the citylight.....because I have so many reasons why....



 But, please do not ask me why I love you this much.... Because I just love you, without any reason why....



050711
It's not a coincidence...it's a miracle....
Thank God I found you, Agustomo Akhmadiansyah....

Sabtu, 25 Juni 2011

Catatan Lama dalam Secangkir Pelanggaran Ritual Pagi...

Pagi ini saya melanggar ritual, pelanggaran besar demi bergulat dengan sepasang mata yang harus terjaga...
Pagi ini saya melupakan china untuk berlayar ke ethiopia...mengganti daun dengan biji...menukar katekin dengan lebih banyak kafein,,
Ya, pagi ini saya berselingkuh dengan secangkir kopi, maaf teh....:)

Menemani pertentangan lidah yang pasrah menelan pahitnya minuman pekat ini, saya membuka catatan lama, mereduksi isi keranjang, memilah-milahnya, selanjutnya meluangkan sebuah sisi untuk sedikit berkontemplasi dan berkonsentrasi dalam refleksi,....

Dalam hening, akhirnya ruang ini mengizinkan waktu untuk menyepi, dan berorientasi....


(Replay, 060210, *Ditulis tanpa tendensi untuk mencari konklusi,,,)


"Ikhlas itu,,,
 berserah...

Ikhlas itu menjadikan Allah satu-satunya penentu untuk segala keputusan,,keyakinan dari segala kebimbangan,,,dan ketenangan atas segala kegundahan...

Ikhlas lebih dari sekedar kata,,,ikhlas menancapkan akarnya di relung hati paling dalam untuk kemudian membuyarkan segala rasionalitas,,,karena Ikhlas lebih dari apa yang bisa dijelaskan logika,,,

Ikhlas bagi saya adalah puncak tertinggi dari segala klimaks pergulatan hati...Ikhlas memberi banyak ruang untuk bersyukur sedalam-dalamnya...

Ikhlas menjelaskan hidup ini indah dalam segala dimensi...andai manusia melihat dengan kacamata yang sama...

Ikhlas adalah penawar untuk segala penyakit, sapu tangan untuk segala tangis,,pegangan untuk segala kebimbangan, teman untuk segala kesendirian, penenang untuk segala kekhawatiran,penjaga untuk segala ketakutan..

Ikhlas mengantarkan hati manusia untuk berdialog dengan Penciptanya...

Ikhlas mengingatkan manusia akan KeEsaan Tuhannya....

Ikhlas itu melepaskan segala keangkuhan...mengganti segala "kepastian" manusia dengan "atas izin Allah"...

Ikhlas adalah prolog untuk segala doa,,,

Ikhlas itu bersih...

Ikhlas itu damai,,..

Memaknai hidup adalah memaknai sebuah keikhlasan...

Dimata saya,,

Ikhlas itu,,

Indah..."



Kini, setelah jiwa menyebrangi sekian purnama, mungkin saya masih duduk manis di sebuah kelas, dalam sebuah pembelajaran untuk selalu ikhlas...
.....
Entah bila masanya, kuliah hidup ini lulus sudah hingga berbuah selembar ijazah...
.....
tapi singkat kata, 

Segala Puji Bagi Allah,,Karena Hidup Ini Selalu Indah....






*buru-buru menyudahi kopi, menetralisir pahitnya yang parah, ternyata selingkuh tidak selalu indah...:)

Kamis, 16 Juni 2011

Dua Bintang, Dua Cangkir, dan Satu Pertemuan.

Betapa rumitnya Tuhan mengatur segala pertemuan. Adam dan Hawa, Hitam dan putih, Gula dan Teh, Ulat dan Daun, Air Laut dan Pasir, Sepatu dan Telapak Kaki, Tanah dan Pondasi, dan terakhir pada detik ini, pertemuan Vega dan Altair. Dua nama berbeda dengan satu makna sama. Bintang. Vega bersinar paling terang pada Rasi Lyra, dan Altair berpendar mempesona pada rasi Aquila. Dua dari tiga bintang yang dalam mitologi yunani digariskan bersahabat, bersama satu lagi si angsa putih, Deneb dari rasi Cygnus. 

Ve dan Al, dua jiwa  yang menggeser mitos, karena mereka akhirnya pernah saling jatuh cinta, dan pernah juga saling memberi luka . Pernah saling mendamba dalam gila, tak luput juga bergerilya untuk saling mencerca. Ya, di bumi mereka memang hanya manusia biasa. Sebagaimana biasanya teh tanpa gula. Tawar tapi selalu jujur apa adanya. 

Setelah lalu ratusan purnama, satu kali gerhana, belasan gempa, dan juga pergantian walikota, dua jiwa yang akhirnya sepakat berjalan sendiri-sendiri setelah pernah berlari estafet merangkai mimpi ini, akhirnya bertatap muka. Bersua layaknya kawan lama yang hendak berbagi cerita. Motif sederhana dalam dua cangkir putih dengan penghuni berbeda. Teh dan Kopi. Dua cangkir minuman yang sama-sama manis karena mereka memang sama-sama penyuka gula. Satu kemiripan dari sekian ratus unsur  berbeda yang pernah mereka ramu dalam satu larutan pekat bernama Cinta. Larutan pekat yang enggan stagnan karena selanjutnya berubah wujud pada satu titik jenuh yang sama, menjelma menjadi luka dan lupa. Luka karena mereka sama-sama memberi izin untuk disakiti, lupa karena dengan hanya dengan begitu mereka berdamai dengan nyeri. Rasa yang impas tapi sempat sejenak meninggalkan bekas. 

 Sadar betapa sulitnya Tuhan mengatur segala pertemuan, mereka mulai saling menyapa. Berbasa-basi hampir basi  seperti “Kamu kapan balik dari Melbourne, Ve?”, atau “Ga nyangka akhirnya kamu memilih jadi PNS juga, Al?” Dalam setiap jeda, entah berapa sendok gula ditambahkan Ve, dan sudah tak terhitung berapa kali Al mengaduk kopi susu panasnya. Ada udara hampa diantara mereka. Ada cerita yang belum usai, ada terimakasih yang belum tulus diucapkan, dan ada maaf yang tersimpan  rapi menunggu untuk dimuntahkan. Mereka sama-sama berhutang kata, lepas dari keinginan untuk memutar ulang atau hanya sekedar saling mengenang. 

Vega di mata Al sudah jauh berbeda, mesmerizing dan sophisticated, mata cerdasnya masih berkilau seperti dulu, mata yang menghujam sekaligus menenangkan. Altair di mata Ve juga begitu. Jauh lebih kokoh dan berwibawa dibanding dulu, raut wajahnya tegas dengan mata yang masih semisterius dulu, mata yang berbicara dalam bahasa berbeda dengan kilau ekspresif mata Vega. 

Vega berpakaian rapih dengan Jaket Roberto Verino hitam asimetris, Dress Putih Noir & Blanc yang manis dengan sedikit jahitan rimpel miring di bagian paha, hosiery Vogue, dan lengkap dengan Ankle Strap Zara yang  membalut telapak dan punggung kakinya. Satu kata, Stunning. Ve selalu punya banyak cara untuk  membuat dirinya berbeda. Kalau perempuan disekitarnya berlomba beradu warna pelangi, Ia akan memilih menjadi hitam, dan saat semua wanita terbalut samar dalam gelap, maka ia akan memilih menjadi putih.  Untuk satu hal itu, Al yang walaupun tak pernah sepakat, telah maklum sejak lama. 

Bertolakbelakang dari Ve, Altair hadir sederhana dengan polo shirt abu-abu dan jeans biru Levis. Al tak pernah tergoda menonjolkan diri, sebisanya Ia hadir sesamar mungkin, tenggelam diantara hiruk pikuk bukan masalah, Ia hanya tidak paham mengapa harus  berbeda. Baginya berpakaian itu fungsi, bukan seni. Al tak menolak menjadi hitam, tak pula enggan membalut tubuhnya dengan putih, tapi Ia akan dengan senang hati mengenakan abu-abu. Satu warna favorit yang Ve tahu benar karena Ia pun pernah mengagumi warna yang sama, namun pensiun dini semenjak Ia menyerah bertahan dengan Al. Alih-alih menjatuhkan pilihan pada abu-abu, Ve mengakalinya dengan silver grey. Hampir serupa, tapi tentu tak sama. Setidaknya begitu di mata Ve. 

20 menit berlalu,  teh di ujung jari Ve terlalu manis sudah, tak ubahnya dengan kopi susu Al, yang pasrah dingin sebelum habis. Semua topik mengalir tanpa polemik, tentang pekerjaan, sekolah, Bandung, travelling, hingga politik. Diskusi bergulir semiformal, dari topik disertasi Ve hingga proyek Jembatan Selat Sunda dimana Al terlibat didalamnya.  Hanya satu topik yang tak pernah mereka mulai, baik ketika pertama kali berjabat tangan, hingga menit ke 21 ini,  “Cinta”. Tak ada yang ikhlas mempelopori pertanyaan “kamu sudah menikah?”. Informasi yang mudah diakses sebetulnya, andaikata keduanya tidak buru-buru hengkang dari dunia jejaring setelah sama-sama mapan pada karir masing-masing. Informasi yang tak mampu dijawab oleh dua pasang jemari yang polos tanpa cincin. 

 Dalam bisu mereka sama-sama menerka. Dalam hening dua jiwa tak bergeming. Dalam sepi, dua buah fakta terlipat rapi. Mereka duduk begitu dekat, tapi saling tercekat. Saling berhadapan namun enggan membalas tatapan. Seakan ada rambu yang membelenggu. Layaknya tamu, Vega dan Altair saling menunggu tanpa tahu pasti apa yang dinanti. Mereka hanya sama-sama ingin tahu, sudahkah masing-masing menemukan cinta kembali untuk selanjutnya berikrar mencintai sampai mati?

“Bulan depan aku menikah, Al.” Vega memecah sunyi…
“Bulan depan aku menikah, Ve.” Disaat yang sama Altair genap mengenyahkan sepi…

Untuk pertama kalinya, mereka sama-sama berbinar. Ketika begitu banyak hal yang berubah, mata Ve dan Al berbicara jujur tanpa tabir. Nyatanya kebahagiaan itu terpancar, berpendar setelah puluhan menit terkunci dalam sangkar. Selanjutnya mereka bertukar undangan. Dua buah undangan hitam dan putih beradu di antara cangkir. Saling menyapa, dan berkenalan. Tak perlu pembahasan lebih lanjut tentang nama siapa yang bertengger menemani di halaman depan, karena mereka yakin pemilik nama itu sama-sama beruntung. Seberuntung mereka yang masih sempat bertemu dan membayar hutang kata. Dua kata yang selanjutnya berbaur untuk berbagi bahagia. Dua kata yang tersimpan rapih hingga hari ini, ketika dua bintang itu melapangkan hati untuk mengucap “ Maaf”  dan “Terimakasih”.

Rabu, 08 Juni 2011

Perempuan, Black Strap Wedges dan Secangkir Teh Poci Panas


I still have my feet on the ground, I just wear better shoes.  -Oprah Winfrey-

Saya pernah ada pada posisi terheran-heran kenapa perempuan dan sepatu memiliki relasi kebatinan begitu kuat. ‘Hanya’ sepatu,padahal,  bukan sesuatu yang signifikan untuk diamati secara seksama pada garis horizon mata, ataupun dalam sumbu sosiopetal  dan sosiofugal manusia dalam kajian proxemic antropolog E.T Hall . Hanya sepatu, yang diinjak bahkan  dilempar kalau ada gangguan yang begitu mengesalkan. :D. Tapi, mungkin itu ajaibnya sepatu, sampai Imelda Marcos pun punya museum khusus di Mirikina untuk mendisplay ribuan sepatu koleksinya. Superb! (geleng-geleng untuk selanjutnya meniup niup permukaan secangkir teh poci,,jangan sebut  merek, karena ini benar-benar teh dalam poci.:P)

Dan see,,saat ini saya yang mungkin hampir ada di posisi itu, membangun ikatan imajiner begitu dalam dengan setiap pasang sepatu yang saya pakai. Seringkali sepatu lebih dulu menjelaskan siapa saya, yang kadang berteriak, diam malu-malu, santai, atau bergejolak. Bahkan terkadang, diwaktu lain sepatu juga yang kadangkala menutupi sedikit retak dari my never perfect outfit. Mengutip sedikit saja part percakapan di SATC, “I will never be the woman with the perfect hair (veil, in my case..:D), who can wear white and not spill on it”,, but Thank God, sometimes perfect shoes nailed it. :D!

Sedikit tarik mundur pada postingan blog saya sebelumnya tentang sepasang black ankle boots kesayangan, saya cinta boots ini sebesar rasa cinta pada black strap  wedges 9cm yang saat ini bertengger manis tak jauh dari ujung kelingking kaki saya. Entah ada mantra apa pada sepasang boots itu, tapi mereka seringkali membantu saya untuk berjalan dengan pasti, lari ketika ingin berhenti, yakin disaat ragu, dan  maju ketika tergoda untuk mundur. Mungkin mirip rasanya ketika saya, out of the blue, memutuskan mengenakan merah di suatu pagi, yang ternyata Bill Blass pun sepakat untuk melontarkan sebuah pernyataan yang sangat personal “when in doubt, wear red” :P! Pada intinya, sepasang boots ajaib itu mengintimidasi saya untuk tidak ragu, bahkan ketika itu harus saya bayar dengan pandangan ganjil sekian pasang mata saat dengan akal sehat dan pikiran sadar saya ditemani mereka untuk  asistensi di kampus. Kampus yang dengan common sense nya menciptakan homogenitas sneakers dan flat shoes terkecuali masa-masa sidang akhir atau karnaval toga. And I’ve been there of course…=P! Everyone grows up,,and everything’s changed,right?nothing last forever…diamond included. J….(Teh Poci, anda meluluhlantakkan saya detik ini….)

Menurut saya, black ankle boots dan strap wedges ini berdiri di ranah yang berbeda, tapi berteriak pada gelombang frekuensi yang sama. Sama-sama tegas, dominan, keras kepala, kuat, dan quite intimidating….:). Apa begitukah mereka mendeskripsikan karakter saya saat ini? Well, entahlah, untuk hal ini saya tidak begitu yakin…walau mungkin sudah ada penelitian yang mengait-ngaitkan karakter wanita dengan jenis sepatu yang mereka pilih. Sedikit intermezzo, konon katanya:

  • ·         Perempuan yang memilih sepatu model stiletto ( I know You Know What,but  if you’re a man, under 17, or thinking that fashion’s suck or literally having no idea, please google.:P), cenderung ingin menonjol untuk menutupi rasa ketidakpercayaan dirinya. (see, sometime ‘perfect shoes’ nailed it!). Stilettoers juga ‘katanya’ mencintai tantangan, berani, dan memiliki daya tarik seksual. à Unfortunately saya bukan pengagum sepatu jenis ini, sudah pernah mencoba tapi tersiksa karena koridor berlantai homogenius tile mulus mendadak jadi wahana berbatu di mata kaki saya. :D.
  • ·         Penyuka kitten heel shoes atau sepatu tumit kucing (istilah ini membuat saya beberapa kali memata-matai kucing bunting di halaman rumah, khusus untuk menyelidiki wujud tumitnya, :P), diduga memiliki kepercayaan diri tinggi, aktif, sangat menarik, dan memiliki sifat feminim alami (catat:feminim memang bisa dibuat-buat, bukan?)à Jujur, saya juga bukan pengagum jenis alas kaki ini, pendapat subjektif : tanggung.titik. Tapi tolong jangan karena ini anda menebak saya tidak menarik. :P
  • ·          Perempuan pengagum heel wedges (boys, ini bukan kulit kentang, plis.) adalah perempuan yang kuat dalam mempertahankan pandangan dan percaya diri menatap hidup, sedangkan  mereka yang memilih wedges bertumit rendah biasanya berkepribadian lembut, fleksibel, santai, dan menyenangkan. à Saya suka keduanya karena pada dasarnya saya memang suka wedges, baik 3,5,7,atau bahkan 9cm…,dengan catatan, untuk wedges lebih dari 7 cm, beri saya platform sekurang-kurangnya 1,5 cm. J. (Eh hey, ternyata di kategori yang lain, sepatu hak tinggi dengan platform menandakan pemakainya itu romantis lhooo….cocok kalo gitu!^^)
  • ·         Sementara di sisi lain, wanita yang memilih sepatu olahraga umumnya memiliki hati yang sangat terbuka namun konservatif dan sulit menerima perubahan. à been there, walau sudah lebih dari 2 tahun pensiun, kecuali ketika jogging. :P)
  • ·         Lain lagi dengan perempuan yang setia dengan sepatu bertumit sangat rendah (bayangkan sol sepatu pria umumnya) overall sangat tau apa yang dia inginkan dalam hidup, tapi mudah lelah dan cepat depresi) à Saya yakin sepatu ini sangat nyaman, tapi entah kenapa tak pernah tergoda untuk mencoba alih-alih membeli…J.
  • ·         Terakhir, pecinta sepatu bertumit datar adalah perempuan yang percaya diri, energik, ramah, feminism, dan cukup puas dengan daya tariknya. à Saya pernah dan masih cinta sepatu ini, walau belakangan frekuensi flat shoes di kaki saya kalah jauh dengan heel wedges. :)
Terlepas dari segala praduga, pendapat, deskripsi, analisis, atau apapun menyangkut korelasi antara karakter perempuan dan sepatu favoritnya, pendapat saya pribadi, evolusi perempuan mungkin sedikit banyak bisa diintip dari perjalanan mereka mencari sepatu yang pas dari hari ke hari dan tahun ke tahun. Dari pasrah dipilihkan sepatu berpita ketika masih bayi, terjebak nyaman dengan sneakers karena sekolah pernah mewajibkan itu, mulai berani memilih sendiri flatshoes saat remaja, yakin dengan pilihan strap wedges hitam saat transisi menuju dewasa, hingga mungkin akhirnya kembali memutuskan mendaratkan kaki diujung senja pada sandal kulit bersahaja dengan hak rendah.  Mungkin sedikit banyak pencarian sepatu yang ‘pas’ menjadi bagian dari pencarian jati diri, karena menurut saya, sepatu adalah benda yang sangat personal. “You cannot put the same shoe on every foot.” - Publilius Syrus - . 

Sama halnya dengan saya, kalau saat ini saya tergoda untuk berlabuh pada boots atau wedges ber-hak 5-9cm saat sebelumnya sudah cukup puas dengan sneakers atau flat shoes, anggap saja itu evolusi dalam komplikasinya pembangunan karakter. Saya tetap saya, dengan atau tanpa alas kaki. Alas kaki hanya membantu saya menapaki hari, menjejaki tempat-tempat yang membuat saya merasa hidup, walau tentu seringkali juga, berlari-lari telanjang kaki bersama ilalang atau hujan yang menetes di bumi adalah hidup itu sendiri. :)

Dan kini, tanpa alas kaki, saya menyudahi tegukan terakhir teh poci yang belum sempat dingin ini, menyelami aromanya, dan terakhir meresapi sisa manis gula batu yang masih betah melekat pada pori perasa lidah ini. Ritual ini selalu berhasil membuat saya menyapa pagi dengan senyum. Senyum yang semoga akan saya tularkan pada bumi hari ini. Karena  “of all the things you wear, your expression is the most important.”  ~Janet Lane. Ritual ini juga selalu sukses mensugesti saya untuk tidak  terburu-buru. Mungkin hidup memang kompetisi, tapi untuk saya hidup bukan balapan, karena dunia terlalu luar biasa untuk dilalui dengan tergesa-gesa. Untuk alasan itu pula detik-detik mendaratkan kaki pada black strap wedges ini adalah jeda waktu penting buat saya, karena ketika kedua kaki saya duduk dengan kokoh disini, saat itu juga saya siap melangkah. Pasti. 

Give a girl the correct footwear and she can conquer the world”  -Bette Midler-





Senin, 30 Mei 2011

Refleksi dalam Secangkir Painkiller Hangat...


Terluka itu gak papa. :).

Terluka membuat saya tahu sakit itu apa, untuk kelak saya berpikir puluhan bahkan ratusan kali untuk menyakiti.

Terluka membuat segala elemen tubuh saya kompak, kompak merasakan sakitnya sekaligus kompak memikirkan cara untuk mengatasi sakitnya.

Terluka itu adil. Karena saya percaya, saya terluka karena pernah melukai. Dan saya terluka untuk membayarnya agar impas.

Terluka itu biasa. Biasa karena dengan merasakan sakitnya saya sadar kalau saya manusia biasa. Biasa karena ia terjadi hanya sekali dari sekian banyak saya berlari, melompat, dan menari. Ia bukan apa-apa dibandingkan sekian banyak pencapaian diri.

Terluka itu jeda. Terluka memberi saya ruang untuk merefleksikan diri. Terluka membuat saya berhenti sejenak, untuk selanjutnya belajar lebih berhati-hati. Terluka membuat saya bertanya, bukan pada siapa-siapa, tapi pada diri sendiri. Terluka memberi saya jeda untuk lebih memahami diri sendiri.

Terluka itu manusiawi. Toh saya lahir dengan tak sengaja melukai mama untuk selanjutnya mati sebagai jasad yang dikubur dengan melukai bumi.

Terluka itu bukan duka. Terluka ada bukan untuk diratapi. Terkadang malah tak harus diobati karena kelak toh ia akan sembuh sendiri. Tapi jika tak tahan sakitnya, sedikit dosis painkiller sah sah saja, karena saya manusia.

Terluka adalah ruang. Ruang untuk berterimakasih pada siapapun yang tetap ada saat saya sakit menahan luka, sekaligus ruang untuk meminta maaf pada siapapun yang sempat terabaikan hingga terluka saat saya lupa karena terlalu sibuk berbahagia.

,,,,,

Jadi, telah saya putuskan sejak lama untuk berdamai dengan luka dan yang melukai, karena dengan itu, Tuhan mengingatkan bahwa hidup memang selalu patut untuk disyukuri….:)



*ditulis dengan senyum,..
 serta secangkir teh manis hangat…,,salah satu dari sekian banyak painkiller saya untuk sebuah ruang yang lebih luas dari bumi, dan itu saya namakan….,,
"Hati…"

Rabu, 25 Mei 2011

Les Quinze Nitz, Dagostraat, dan Secangkir Teh Apel Hangat

Sore yang  cerah hari ini membuat saya ikhlas menapaki ribuan meter dari estatua de colon hingga placa de catalunya yang nyatanya memang tidak sampai 2 kilometer. Untuk orang tropis seperti saya, suhu 63 F  ini memang agak dingin, karena itu artinya selisih 6 celcius lebih rendah dari suhu normal rata-rata di Bandung.  Beruntung beberapa hari lalu Lefties yang hanya berjarak selemparan batu dari placa de catalunya , menjual  separuh harga  untuk sepotong Trench Coat  Zara coklat muda. Lucky me for having this gorgeous coat for only 24 €. That’s one of my best deal here, anyway. Dengan menggulung rambut dengan bandana dan sedikit kamuflase topi ala baker atau newsboy cap (semoga saya hanya diduga sedang bad hair day) serta shawl abu-abu muda (penggunaan fullveil atau jilbab dilarang di ruang public Barcelona, entah sejak kapan) saya pun menerobos  riuh rendahnya Las Ramblas, Barcelona. 

Sayup sayup lagu Mana - Lluvia Al Corazon terdengar dari sebuah outlet souvenir, walau tentu kalah telak dengan hiruk pikuk turis yang asyik masyuk menonton street performance di sekitar patung Frederich Soi szobra. Pesona Las Ramblas yang sangat festive membuat saya banyak berhenti lama. Barcelona memang gudangnya pertunjukan jalanan yang spektakuler. Ada yang melumuri dirinya dengan cat putih dan mematung bak Charlie chaplin nongkrong di closet, ada pertunjukkan seni bela diri oleh satu kelompok orang yang saya duga dari asia, dan ada juga penampilan ciamik dari duo Spanish guitarist yang sukses menahan napas saya untuk beberapa detik (dan untuk ini saya melebihkan sedikit euro dengan pertimbangan bahwa mereka berdua berhasil menggeser Vamosia di Helsinki yang sebelumnya menjadi top 5 dalam daftar saya). Hat off untuk perjuangan para street performers mengumpulkan euro demi euro. Walau memukau, tidak jarang aksi dari beberapa street performes membuat saya gigit jari  karena mereka yang mematung, tetap diam tak bergeming ketika saya melemparkan satu koin euro saya. Ah, gaji buta. :D. 

Ketika lampu-lampu cantik mulai menyala, tepat di muka Burger King,masih di radius monument to Pittara,   saya dilema. Take it for granted untuk menu familiar dengan harga sepadan, atau lempar koin antara Les Quinze Nitz dengan Taxidermista yang artinya saya harus berjalan lagi kurang lebih 400 meter ke Placa Reial. Setelah menghitung kancing coat yang memang tidak seberapa, saya pun resmi melempar koin tepat di depan fountain three graces, Placa Reial. Akhirnya, Les Quinze Nitz, dengan konsekuensi saya masuk daftar tunggu yang ke 11!Ternyata antrian tidak hanya terjadi di kantor pajak atau kantor imigrasi di Indonesia. >_<! Baiklah, berhubung waktu kunjung saya di Barcelona kali ini cukup panjang, antrian beberapa puluh menit mungkin tidak seberapa. Walau saya sadar betul, berharap terlalu banyak, hanya akan mengecewakan kalau apa yang kelak didapat tidak membayar segala kelelahan saya mengantri. Life is beautiful. Let’s accept it with no exception. Barcelona bukan Bandung yang bahkan ketika kamu memandang sebelah mata dengan tampilan dan atmosfer suasananya, hampir tidak ada makanan yang betul-betul mengecewakan. Di Barcelona, you should put your less of expectation about food, dan bersiaplah untuk sekali-sekali menelan makanan yang mungkin lebih buruk dari biasa-biasa saja. Ini berdasarkan kacalidah orang Indonesia tentu saja, yang sangat teramat Oh My God subjektif sekali pisan!

Dan here's the deal of my less expectation. 15 menit pertama saya begitu sabar mengantri, walau saya agak merasa bodoh kenapa saya harus mengantri padahal di dalam ada sekitar 5-7 meja kosong tanpa reservasi. 15 menit kedua beberapa turis di depan saya mulai gundah gelisah. Penderitaan ini pun berakhir di 15 menit ketiga. Pada menit tersebut akhirnya saya yakin antrian ini mungkin semacam trik. Trik untuk sebuah pencitraan diri. Karena hampir semua turis ini rela mengantri karena penasaran dengan antrian. Sebuah jebakan rantai ekspektasi yang sukses besar. Dan setelah ratusan atau bahkan ribuan kali berkedip, here I am, menikmati beberapa starter, main course, dan dessert dengan ambience Placa Reial yang just too good to be true. Lampu rancangan Gaudi bersinar bersahaja dimana-mana. Speechless for the atmosphere

Setelah menikmati Tuna steak dengan soy sauce dan Catalunya Crème (bayangkan Crème Bruelee) yang ternyata sama sekali tidak buruk, saya memesan kopi dan Bailey ice cream untuk melengkapi a quite nice environment of Placa Reial. Tepat di sendok es krim terakhir, saya mendengar sayup suara lonceng yang makin lama makin nyaring. Mencari sumber suara, mata saya berputar mengitari deretan bangunan bergaya Renaissance dari sudut Taxidermista hingga pojok Cerveceria Alex. Belum sampai mata saya ke arah Pipa club yang letaknya tidak jauh dari Les Quinze Nitz, semua bangunan tiba-tiba  berdistorsi untuk selanjutnya semakin mengerucut ke atas, ke satu titik hilang yang akhirnya menelan Placa Reial dan seisinya dalam satu kedipan mata. Sensasi gelap dan terang berganti seiring tangan saya yang menjelajah mencari mangsa. Refleks ibu jari saya menekan “dismiss”. Ternyata lonceng itu adalah alarm jam 4 sore saya, yang artinya 90 menit sudah saya mengalah pada mata untuk mengizinkan kelopaknya menutup. Selama itu pula Las Ramblas jadi setting sempurna mimpi singkat saya. Mimpi yang selanjutnya membuat sore di Bandung jadi lebih dramatis di mata saya. Sedramatis seduhan teh  apel hangat yang tidak akan pernah saya tukar dengan House Red Winenya Les Quinze Nitz walau katanya itu worth the price. Kata Bang Rhoma, itu haram, sodara-sodara.:D.

Secangkir teh aroma buah ini mengingatkan saya akan satu hal, kenapa Bandung tidak punya Las Ramblas? Sudah ada sedikit usaha di Braga,memang, tapi pejalan kaki tetap tidak jadi raja. Tertekan oleh deretan mobil dan motor yang parkir parallel, lalu lintas kendaraan yang hampir selalu padat merayap di atas jalan berpaving yang katanya pedestrian friendly. Mungkin ‘Bapak’ yang duduk disana boleh jadi berbangga hati dengan menambahkan prasasti sebagai tanda telah merevitalisasi Jalan Braga, tapi honestly speaking, bagi saya PR Bandung untuk revitalisasi heritage site macam Braga masih segunung. 

Las Ramblas dan Barcelona mungkin bisa jadi contoh dedikasi sebuah Kota yang secara sadar merenovasi kotanya melalui arsitektur, seni, dan desain. Renovasi arsitektural jadi bermakna sangat luas, karena urban renewal berbicara dalam bahasa yang lebih dari konteks perancangan bangunan. Dalam ranah yang lebih mikro contohnya, dimana plaza, jalan, dan taman, bukan dijadikan akibat dari geometri abstrak yang pasrah hanya jadi konsekuensi.  Mereka adalah elemen yang memang dirancang sesuai dengan topografi, skala tapak, dan elemen arsitektural di sekitarnya. Kira-kira begitulah saya menerjemahkan sedikit penyataan Sola Morales tentang square, avenue, and public garden.
 
Dalam hal ini arsitek punya peran yang sangat fundamental, karena mereka turut mentransformasikan ruang-ruang ‘domestik’ menjadi ruang-ruang publik. Tradisi arsitek yang biasanya hanya memberi perhatian ekstra  terhadap aspek detail pada ruang-ruang privat, kini diterapkan pada perancangan ruang publik. Such a great move ketika disaat yang sama  Bandung luput memperbaiki jalur pedestrian, enggan menambah ruang publik yang layak, serta absen mengatur regulasi untuk konservasi bangunan tua di sepanjang Jalan Dago dengan alih-alih melabelnya menjadi floating zone. “Zona Mengambang”, sebuah istilah yang tidak saya temukan pada pedoman peta zonasi manapun. Karena di mata saya istilah tersebut adalah salah satu istilah paling galau dalam dunia urban design karena itu berarti berbagai fleksibilitas dalam perizinan dimungkinkan namun tetap dibawah control pemerintah.  Istilah yang mungkin hanya boleh dipakai dalam keadaan darurat dimana para pemangku kebijakan yang memang sedang galau, berpikir keras untuk menetapkan peraturan zonasi yang lebih baik untuk sebuah kawasan dengan berbagai benturan kepentingan. 

Dan nyatanya, fleksibilitas itu memang ada, bahkan dalam dosis yang berlebih hingga segalanya menjadi boleh untuk ‘ada’. Dago yang awalnya dikenal sebagai Dagostraat semakin mengapung, terlena, dan mungkin semakin jauh menapak bumi. Romansa sebuah kota yang berada di urutan ke 9 sebagai Kota Art Deco di Dunia terbuyarkan sudah dengan billboard dan papan iklan dimana-mana. Cladding dianggap lebih bersuara untuk menarik massa, sehingga dianggap layak untuk membungkus apa yang lebih pantas disebut karya. Apakah ini perjalanan sebuah kota menuju amnesia? Entahlah, saya yang seringkali asal berbicara ini terlalu naïf untuk menganalisis fakta atau bahkan sekedar memprediksi dan menduga-duga. :). 

Sebelum menghabiskan teguk terakhir dari cangkir teh apel saya yang memang belum sempat dingin, saya melayangkan pikiran sejenak. Menembus perspektif, menuju distorsi, dan titik hilang yang persis klimaks Placa Reial di mimpi saya. Menapaki  Dagostraat, sebuah avenue yang kali ini didedikasikan sepenuhnya untuk public. Ada mahasiswa yang rela berjalan kaki menuju kos-kosannya di daerah sekeloa dan gasibu. Ada komunitas pecinta skateboard yang unjuk gigi di salah satu tepi. Ada ruang untuk pertunjukkan angklung atau seniman jalanan berbakat. Ada street vendor dengan menu utama jajanan khas tanah sunda. Ada keluarga kecil bahagia yang menemani putri kecilnya belajar berjalan. Ada turis asal Surabaya dan backpacker asal Rusia. Ada senyum dan tawa pertanda ruang publik memang membuat mereka bahagia. Dan tentu saja ada saya, yang kali ini tanpa kamuflase newsboy cap, atau shawl abu-abu muda, karena kota ini terbuka untuk siapa saja, dari berbagai ras, agama, dan budaya. Flexible in a positive way seperti fleksibelnya teh yang tetap menjadi teh walau dipadu dengan buah. 

Dan akhirnya, manisnya teh apel yang sempat mampir di lidah saya turut menerjemahkan manisnya harapan saya akan Bandung di waktu kelak,,

Tanpa sedikitpun  skeptis atau pesimis, saya yakin, Bandung Bisa! :).





                                 

Sabtu, 21 Mei 2011

Prolog Sepasang Boots, Kupu-Kupu Dalam Ruang, dan Segelas Teh Lemon Dingin

“Cuma 7 cm kok, iya,… hak ankle boots ini memang cuma 7cm.” :P. 

Sebuah monolog singkat antara saya, sepasang boots hitam dan segelas penuh teh lemon dingin.  Berbicara tentang boots, ini adalah boots pertama sekaligus jadi salah satu alas kaki favorit saya untuk menyapa dunia luar, dimana sementara ini dunia luar saya adalah 70% kampus, 20% kafe ber-teh dan wifi, dan 10% lain-lain. Usut punya usut, boots ini berjasa besar dalam fase metamorfosa diri saya. Tentu belum seutuhnya menjadi kupu-kupu dewasa, tapi setidaknya, fase kepompong terlewati sudah. Fase yang membuka indera  saya terhadap warna, aroma, irama, rasa, dan makna segala peristiwa. Boots ini juga yang menggantikan sepersekian rasa dari sebuah hal baik yang tiba-tiba hilang dari hari-hari saya. Hidup nyatanya memang tidak hanya perkara belajar menghilangkan hal-hal yang buruk, tapi sekaligus kehilangan  hal-hal baik, bahkan mungkin sangat baik. :)

So, here I am,,ber-alas kaki boots kebanggaan tadi, duduk manis dan autis di sofa pojokan dengan meja bundar lengkap dengan laptop, hardisk external, headphone, notebook hitam kesayangan, segelas teh lemon dingin, tahu krispi panas, dan sebuah ponsel yang katanya ‘pintar’ (walau saya agak ragu apakah ponsel ini memintarkan saya juga?). Setelah saya perhatikan dengan seksama, meja bundar ini ajaib juga, menampung seluruh benda-benda ajaib ini dimana setiap benda tidak saling mengintervensi satu sama lain. Good Job, Kafe Kupu-Kupu, Well done, My black boots! (Tidak semua sebab akibat itu secara eksplisit berhubungan, saudara-saudara, termasuk diantaranya meja bundar dan sepasang ankle boots!)

Baiklah, sebelum saya melanjutkan meracau tentang boots di postingan blog selanjutnya, izinkan saya mendeskripsikan sedikit saja tentang tempat favorit saya untuk menyendiri ini. Saya lupa kapan pertama kalinya saya memutuskan untuk mampir di kafe ini. Yang saya ingat, saya memutuskan mampir akibat tidak tahan untuk tidak mengomentari replika beberapa kupu-kupu warna warni sebesar ban mobil yang bertengger di dinding eksterior kafe ber-cat cardinal - upsdell red ini.Sungguh eyecatcher yang terlalu harfiah, menurut saya. Mungkin replika kupu-kupu masih tetap menarik kalau monokrom, baik itu dengan material kayu,atau kawat besi. Mungkin jumlahnya diperbanyak dengan varian ukuran replika yang lebih beragam atau satu saja, tapi powerful. Kalau masih kurang eyecatchy, penambahan lampu LED beras yang dililit di replikanya juga bisa menarik. Dengan catatan, untuk malam hari, biarkan dinding tanpa pencahayaan tambahan sehingga kupu-kupu menjelma jadi kunang-kunang malam yang cantik. Sekian komentar dan usul subjektif saya.  Tapi diluar itu, saya memang penasaran dengan desain keseluruhannya, karena diintip dari luar ada bambu dan kayu yang sukses jadi pemanis untuk massa bangunan yang memang seadanya. Setelah berkali-kali hanya lewat saja, tiba juga harinya dimana,  Oke, anda menang,  saya mampir. 

Kesan pertama, menyenangkan. Kesan kedua, menyenangkan. Kesan ketiga, masih menyenangkan. Tidak ada tukang parkir yang minta seribu lagi ketika saya sudah bayar. Tidak ada pelayan yang menawarkan untuk membersihkan meja atau dengan bahasa halus menyuruh saya pergi kalau tidak berniat  memesan lagi. Tidak ada alat pengkondisian udara karena memang sudah sejuk dari sananya. Tidak ada service tax yang dibebankan kemudian. Ada mushalla. Ada suara gemericik air dari kolam ikan kecil.Ada detail bambu menarik di jendela. Ada outdoor terrace di lantai 2.  Ada buku-buku yang gratis dibaca ditempat. Ada air, angin,   dan ada view. Ada satpam (bukan tukang parkir illegal). Ada senyum. Ada musik yang mengalun pelan (mengingatkan saya pada berlebihannya volume speaker ngopi doeloe yang seringkali membuat saya harus agak berteriak ketika menumpang berdiskusi disana). Ada wifi. Ada menu-menu enak yang terjangkau kantong mahasiswa seperti saya. Dan terakhir ,  ada diskon 15% untuk yang  mention @kafekupu2 di twitter. Tidak heran kalau saya sering lupa bahwa saya sedang tidak dirumah sendiri ketika sadar bahwa saya sudah berjibaku disana 9 jam penuh dari 12 siang bolong hingga jam 9 malam ketika si kafe siap-siap tutup. Almost Perfect Atmosphere ever! Sungguh saya sama sekali tidak dibayar untuk ini (mengacungkan telunjuk dan jari tengah dan memasang muka sungguh-sungguh).

Saya menyeruput sedikit teh lemon yang sudah nyaris hilang dinginnya. Kali ini gulanya pas, setelah sebelumnya agak terlalu manis. Mengingat lemon baik untuk kesehatan tulang dan gigi, irisan lemon diatasnya saya cicipi juga sedikit. Semoga ia bekerja dengan baik. Selain gula di teh lemon, tahu krispi pedasnya juga pas, pas untuk sore yang cerah tapi dingin. Saya lirik sudut layar, 16:05, saatnya break sejenak untuk turun dan solat ashar. Sambil beranjak, saya memesan bandrek sebagai pengganti kopi sore. Menuruni tangga kayu, hak sepatu boots saya beradu membelah sunyi, dan saya selalu suka sensasinya…,

Sexy. ;)






*catatan penting : jangan pernah mencari kafe ini di Kota Bandung, karena ia masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Bandung Barat. (Loh, kan saya yang memutuskan hal apa yang mewakili Bandung di mata saya,,,boleh dong walaupun bukan kota? :P)

Rabu, 18 Mei 2011

Asistensi, ‘Bunga’ dan ‘Budi’, serta Secangkir Teh Pekat Dingin…

Sebenarnya timbangan badan saya tidak perlu menyentuh angka 5 andaikata setiap pagi saya rela menyisihkan sebagian nafsu indera pengecap dengan “hanya” menikmati secangkir teh pekat hangat dan sepotong pisang bakar beroles sedikit mentega seperti pagi ini. Hangat, nikmat, dan tentu saja manis :) . Bukan tanpa alasan sebenarnya saya meluangkan sedikit waktu untuk membakar sepotong pisang tanduk kiriman tetangga ini. Saya rindu pisang bakar Tahura (Taman Hutan Raya, Dago Pakar). Jajanan sederhana dengan kenikmatan yang sempurna di lidah saya.   4000 rupiah saja untuk sepotong pisang besar yang dibakar utuh dengan kulitnya, beserta sepiring kecil gula aren sebagai cocolan. Sepadan untuk paket yang sebenarnya priceless menurut saya. Terbukti beberapa saat setelah itu, tanpa kelelahan saya melanjutkan jalan kaki 3 km selanjutnya menuju Maribaya (mengkambing hitamkan sepotong pisang untuk sebuah pencapaian positif itu sah sah saja,bukan?). 

Mungkin deskripsi kerinduan saya akan pisang bakar ini terlalu panjang mengingat Tahura dan tracknya harus jadi edisi khusus tersendiri di blog ini. Tapi, ya kira-kira begitulah motif utama keberadaan teman teh pekat saya pagi ini. Teh pekat yang muncul tak sengaja karena saya terlalu lama menyelupkan kantung tehnya, bukan karena saya butuh obat diare. :P. Alhasil takaran gula yang saya tuangkan pun jadi berlebih. Itulah gunanya Tuhan menciptakan tebu untuk diekstraksi menjadi gula, bukan? Agar bisa menetralisir pahitnya hidup?*Ha..ha..ha…*

Day maker saya pagi ini ternyata bukan hanya secangkir teh pekat dan pisang bakar, tapi juga ‘Bunga’ dan ‘Budi’  (bukan nama sebenarnya) yang saya pelototi dengan seksama di layar kaca. ‘Bunga’ jadi tamparan keras saya pagi ini yang begitu ciut menghadap pembimbing hari ini hanya untuk  sebuah asistensi thesis tugas akhir. Betapa tidak, ‘Bunga’ yang tinggal di sebuah desa terpencil  di Subang ini, harus berjalan kaki sejauh 7 km untuk ke sekolah setiap harinya. 7000 meter ini juga bukan jalan lurus beraspal, tapi pematang sawah, aliran sungai sedalam lutut orang dewasa,dan  jalan becek berlumpur. Tidak heran kalau ‘Bunga’ tiba di sekolah dengan tubuh sudah sepertiga basah dan kotor. Belum berhenti sampai disana, karena setelah  pulang sekolah (berarti 14 km jarak pulang pergi) ‘Bunga’ masih harus mengumpulkan uang untuk bayaran sekolah dari hasil memberi makan ayam dan kambing TETANGGAnya dengan upah Rp. 500,- /HARI (BACA: setengah nominal rata-rata biaya buang hajat di toilet umum di Bandung). *PLAKK*. ‘Tamparan’ pertama mendarat mulus di pipi saya. 

Lain ‘Bunga’ lain juga ‘Budi’ (bukan pula nama sebenarnya), ayah dua anak ini ikhlas menempuh belasan kilometer tanpa alas kaki untuk belajar membaca di sebuah kelas beratap langit di tengah hutan Kalimantan. Keinginannya cuma satu, bukan untuk mengubah keadaan ekonomi keluarga, Ia hanya ingin melek huruf agar kelak dua anaknya yang saat ini masih kecil-kecil ada yang mengajari membaca. Usaha luar biasa untuk sebuah harapan yang begitu sederhana. *PLAKK PLAKK*.  Kali ini yang ‘sakit’ bukan pipi, melainkan ulu hati saya. 

Seketika saya meletakkan cangkir teh pekat yang masih setengah isi di meja untuk mengirim pesan singkat pada dosen perihal permohonan untuk bimbingan thesis hari ini. ‘Bunga’ dan ‘Budi’ sukses menampar saya bolak-balik pagi ini dengan kegigihan mereka menggapai mimpi dengan ber’sekolah’.  Syukurlah ‘Bunga’ dan ‘Budi’ tak pernah sekalipun mencium bau sampah keluhan-keluhan saya dalam ‘menikmati’ sekolah  di Kota yang menjadi salah satu rujukan untuk fasilitas pendidikan tinggi terbaik bangsa ini. Walau saya tidak terlalu yakin apakah predikat besar  ini sepadan dengan besarnya kontribusi lulusannya untuk turut memajukan pendidikan bangsa. Kembali, andaikata ‘bau’ keluhan saya tercium ‘Bunga’ dan ‘Budi’, tentu saya bukan hanya ditampar, tapi juga ditendang dan dicacimaki. Sudah sekolah ‘lanjutan’  gratis dengan jarak tempuh 5km, berkendaraan pula,  dan berangkat dari rumah dengan perut kenyang serta pakaian bersih dan wangi,  “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” ….. sebuah pertanyaan Tuhan untuk diri saya sendiri, teman-teman serta adik-adik yang terkadang lupa bersyukur telah mampu mengenyam pendidikan layak tanpa effort  luar biasa besar seperti ‘Bunga’ dan ‘Budi’.  “Segala Puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam”….

Entah karena prolog dan niat baik di pagi hari, atau karena hari ini saya tidak lupa mengucap syukur, asistensi saya kali ini melegakan sekali.  Sangat melegakan untuk dideskripsikan dengan ‘ngebelah atmosfer berlapis-lapis meluncur bareng paus akrobatik dan dilempar ke rasi bintang paling manis’…CMIIW. :P .  Tidak berlebihan rasanya kalau bahagianya saya sandingkan dengan membuncahnya perasaan insan yang sedang  jatuh cinta ( bukan tanpa alasan, tentu karena saya pernah merasakan keduanya :P). Dan berbeda dengan jatuh cinta (sungguh tidak berniat curhat colongan), hingga detik ini meski harus jatuh berkali-kali, satu hal yang hampir tidak pernah membuat saya patah hati adalah : "belajar". 

Sedikit konklusi, hari ini saya bahagia. Bahagia dengan cerita yang tentu saja berbeda dengan kebahagiaan saya di hari-hari sebelumnya.  Satu hal yang saya yakini, bahwa kebahagiaan itu perasaan yang selalu ada di dalam hati, no matter what. Dan detik ketika kita merasa tidak bahagia adalah detik saat kita mengabaikan rasa syukur di dalam hati untuk mengejar kebahagiaan yang sesungguhnya tidak ada atau mungkin kebahagiaan yang belum menjadi hak kita. :)

Akhir kata,  penghujung hari ini saya tutup dengan menyudahi sisa teh pekat tadi pagi dengan kandungan polifenol yang tentu saja sudah hilang. Tepat di tetes terakhir saya sertakan sedikit janji bahwa esok minuman dalam cangkir tersebut akan habis sebelum antioksidannya lenyap. Dan bersyukurlah hanya zat pencegah penuaan itu yang bisa hilang setelah seduhan 3 jam pertama, kebahagiaan tak pernah dibatasi waktu. Bahkan saat nyawa tak lagi ada, bahagia masih tetap bisa diwariskan bagi nyawa hidup yang ditinggalkan.

 Maka,…tersenyum dan berbahagialah. ^^

Selasa, 17 Mei 2011

Bandoeng Van Thee

Teh. Ada apa dengan minuman dari rebusan pucuk daun Camellia Sinensis ini? Mengapa pula secangkir teh mampu mewakili diorama saya tentang Bandung? Entahlah…satu yang saya tahu, ketika Bandung membuat saya melonjak-lonjak kegirangan, saya akan turut membaginya dengan segelas teh manis teramat dingin, dan ketika Bandung menampar saya hingga terjatuh-jatuh, saya akan turut membisikkannya  pada secangkir  teh manis hangat. Mohon jangan pertanyakan sebenarnya saya suka teh atau gula. Itu pertanyaan sulit karena saya menganalogikan paduan mereka sebagaimana sepasang contact lens berwarna, lebih baik tidak usah daripada hanya saya pakai sebelah saja. Lebih baik menenggak air putih daripada menikmati teh tanpa gula. Kembali ke sebab akibat mengapa teh, sederhana memang, bukan karena saya tidak berusaha untuk sedikit berfilosofi tentang teh, tapi filosofi itu subjektif, sesubjektif selera perempuan terhadap sepatu. Awas, kesimpulan ini juga saya analisis dengan  subjektif. 

Bandung. Kota yang pernah begitu sederhana dan cantik, tapi jadi tua terlalu cepat karena terlalu banyak make up tapi lupa cuci muka. Kota yang terkenal ayu kaum hawanya, namun mulai sayu pesona alamnya. Surga untuk petualangan garpu dan baju, tapi bisa jadi neraka kalau tak punya doku. Kota yang banyak berpikir tapi sulit bertindak. Kota yang didatangi dengan harapan, untuk selanjutnya tidak pernah benar-benar ‘ditinggalkan’ karena sarat dengan kenangan. Nyaman, walau mulai tak aman. Unik meski masih jauh dari kesan artistik. Kreatif dan inovatif tapi seringkali lambat untuk produktif.  Bandung itu ‘demokratis’ karena kota ini masih memberimu jeda untuk memilih, berjalan santai atau berlari kencang. Kota ini tidak hendak menekan, walau terus menerus ditekan. Ibarat rombongan ibu-ibu yang mengayuh sepeda fixie, tapi dipersiapkan untuk masuk stadion balap. Bukan sebuah ironi memang, hanya sedikit pengkondisian untuk memilih, atau malah dipilihkan. Terlepas dari komparasi fenomenologis yang tentu saja tidak objektif, saya cinta kota ini, walau tidak dengan apa adanya. Dan saya yakin Bandung pun tidak berharap untuk dicintai hanya dengan apa adanya. Dengan tidak menerima Bandung apa adanya, setidaknya saya pernah berniat untuk menjadikan kota ini lebih dari “seadanya”. Ingat, niat saja dicatat malaikat, teman. 

Selanjutnya, blog ini hadir tidak untuk berdiskusi, karena ia sudah cukup puas berbicara sendiri. Layaknya perempuan menilai sapuan eyelinernya sendiri di depan cermin. Memang terlalu berlebihan untuk dicap sebagai sebuah delusi nyata, namun cukup egosentris untuk dimaknai secara jamak. Blog ini ada, tidak untuk berdiri dalam ranah fiksi atau non fiksi, hanya sebuah jaringan kompleks dalam neokortex otak yang saya sederhanakan dengan menulis, seperti arsitek yang menyederhanakan ide dengan menggambar, lepas dari perkara benar atau salah, bagus atau jelek. Sekolah dan pekerjaan sudah cukup menjadikan hidup begitu serius dengan memberi ujian dan penilaian, blog ini adalah jam istirahat saya, untuk meracau, merapikan lengan blouse, menikmati jajanan pinggir jalan, dan terakhir memaknai hidup dalam kebahagiaan yang saya ciptakan sendiri.  

Singkat kata, jangan berharap banyak, ini cuma catatan kecil saya tentang ‘Bandung’ dalam secangkir teh yang hampir dingin…