Jumat, 14 Oktober 2011

www.bukalapakbaru.com

Setelah mengingat dan mempertimbangkan dalam tempo yang relatif singkat, akhirnya dengan senang hati saya memutuskan bahwa sebagian dari isi blog ini akan berpindah, berhubung beberapa konten diantaranya menodai kesucian daun teh yang susah payah saya seduh dari awal. :D. Segala hal menyangkut perpindahan lapak serta link, akan saya selesaikan dalam tempo yang mungkin tidak singkat, berhubung kegalauan akademis saya nyatanya semakin memuncak beberapa bulan terakhir ini...he..he...

Adapun (pembimbing saya bilang, kata "adapun" di laporan thesis saya overdosis) kapling blog selanjutnya mungkin berupa shortcut terpendek dari hati dan otak yang sengaja maupun tanpa sengaja dipikir atau terpikir, dirasa atau terasa,  bisa galau, senang, rusuh, malu-malu, kesal, gemas, berbunga-bunga, berbuih-buih,,,bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk putra putri saya kelak, yang mungkin saja suatu saat nanti iri melihat teman2nya punya album foto maupun buku diary lama ibunya,,,dan saya dengan segala keterbatasan dalam menyimpan apik dokumen penting, foto-foto,curhatan, dengan teramat sadar memanfaatkan media gratis dan go-green ini (well, oke, saya ngeles) untuk merekam segala perjalanan. Perjalanan hingga tiba detik-detik mereka bisa mengetik sendiri alamat blog bundanya....=)

".......www.bahagia-itu-tika.blogspot.com......."




14 Oktober 2011

Diketik dengan kesadaran sendiri tanpa pemaksaan pihak manapun...=D

Selasa, 20 September 2011

the 3rd love letter....without any cup of tea...:)

Dia,,,
adalah kejutan yang datang menyeruak, namun dengan teramat manis mengetuk pintu, membuka alas kaki, dan duduk manis di beranda sebelum dipersilahkan masuk....

Dia,,,
adalah keyakinan yang tiba tepat pada waktunya, yang bahkan tak memberi ruang untuk ragu menempel bak debu atau bimbang menyela dan mengganggu...

Dia,,,
adalah rombongan kebahagiaan yang dengan manis diantar Tuhan, sekelebat cepatnya cahaya menembus ruang dan waktu....

Dia,,,
adalah mimpi yang lancang menyalip antrian, namun selanjutnya memeluk seluruh deretan mimpi lainnya, lalu menegakkan mereka di bumi hingga semakin dekat dan nyata...

Dia,,,
adalah kesabaran yang memahami, kecerdasan yang mengajari, kedewasaan yang mengayomi, dan ketulusan yang menaungi...

Dia,,,
adalah partner terbaik dalam kelas akselerasi, bukan karena terburu-buru, tapi karena cinta seringkali membuat waktu terasa cepat berlalu, hingga kita memilih berlari-lari kecil, bukan? :)

Dia,,,
adalah pagi, siang, malam, kemarin, dan besok-ku....yang hadir tanpa kecuali....mengisi, memenuhi, memaafkan, mengasihi, dan mencintai....

Dia,,,
adalah diam dan henti ku saat ini,....
karena detik ini kata-kata kalah telak dari airmata, 
pertanda jiwa yang terlalu berbahagia.....


And finally, Thank God, he is you…. ,Agustomo Akhmadiansyah-ku.....



Minggu, 11 September 2011

110911,,,When our love walk one step closer.....

Bismillah,,,


Today, you got me nothing to hope,,,except,,,being with you....
Today, you got me nothing to see,,,except,,,sincerity in your eyes...
Today, you got me nothing to dream,,,except,,living happily ever after beside you...
Today, you got me nothing to ask,,,except,,,health, happiness, and blessing for us and our big family...
Today, you got me nothing to believe,,,except,,,God and How wonderful my life could be with you....

And most importantly,,,today, you got me nothing to say,,,except,,,
.................."Yes, I do"..................



And Thank God We're officially engaged, Agustomo Akhmadiansyah....,,Semoga Allah Meridhoi , Semoga Allah Memudahkan Segala Urusan, dan Semoga Allah Mempersatukan dalam Ikatan Halal yang tidak akan pernah putus....Amien.

11-09-2012

Rabu, 31 Agustus 2011

Miss me?


Well, saya rindu menulis….

Tiba-tiba saja jatuh cinta, nyatanya membuat saya mandul menulis, mandul menumpahkan segala emosi dengan meracau dalam bahasa non verbal, mandul berlari-lari dan berputar-putar hanya untuk menemukan kata yang pas untuk mendeskripsikan kusutnya isi otak saya. Ah, sungguh mulai mempertanyakan seberapa besar saya meminati dunia bisu dan pasif ini. Sungguh malu menyebut diri ini cinta menulis. Blame it to him,,,blame it to him,,,yang menggenangi seluruh dahaga bercerita saya dalam lagoon yang nyaris tak dapat saya lihat tepiannya, saking luasnya. Dan kamu bukan fatamorgana, sayang, karena kamu nyata. Nyata membuat saya (beberapa saat terakhir ini ) lebih suka sensasi saraf motorik pada bibir dan pita suara daripada jari dan otot-otot disekitarnya. Ah, Damn. 


Baiklah, saya sungguh rindu menulis…

Melebihi rindu saya pada bodybutter minyak zaytun yang belum sempat terbeli karena lupa, melebihi rindu saya pada rumraisin chocolate ice cream yang sulit saya sapa karena langka, dan melebihi rindu saya pada thesis yang belum saya sudahi entah karena apa…(saya tau pasti kenapa, tapi ini off the record…:D),,,


Hfffhhhh,,betapa saya rindu menulis….

Rindu berkontemplasi dalam hening, menatap dalam diam, berpikir dalam sunyi, untuk selanjutnya berbisik-bisik sendiri dalam sepi. Mengawang ngawang, menapak bumi, berlari-lari. Bersolek tanpa make up, mengunyah tanpa gigi, dan merancang tanpa sketsa. Saya rindu ruang abstrak ini, ruang yang menghadirkan saya apapun, membiarkan saya membuka jendela manapun, dan menggila dalam kata kapanpun.
Ahhh,,,maaf untuk merindu tanpa bukti, paling tidak saya sudah berbesar hati mengakui bahwa,,,

Saya Rindu Menulis, sungguh….




*Semoga pangeran penunggang unicorn yang pulang besok tidak sempat cemburu karena rindu… ;)

Rabu, 03 Agustus 2011

Kamu dan Aku, tanpa cangkir apapun...,,Hanya Kita...Saja.





You can ask me anything why I always love the citylight.....because I have so many reasons why....



 But, please do not ask me why I love you this much.... Because I just love you, without any reason why....



050711
It's not a coincidence...it's a miracle....
Thank God I found you, Agustomo Akhmadiansyah....

Sabtu, 25 Juni 2011

Catatan Lama dalam Secangkir Pelanggaran Ritual Pagi...

Pagi ini saya melanggar ritual, pelanggaran besar demi bergulat dengan sepasang mata yang harus terjaga...
Pagi ini saya melupakan china untuk berlayar ke ethiopia...mengganti daun dengan biji...menukar katekin dengan lebih banyak kafein,,
Ya, pagi ini saya berselingkuh dengan secangkir kopi, maaf teh....:)

Menemani pertentangan lidah yang pasrah menelan pahitnya minuman pekat ini, saya membuka catatan lama, mereduksi isi keranjang, memilah-milahnya, selanjutnya meluangkan sebuah sisi untuk sedikit berkontemplasi dan berkonsentrasi dalam refleksi,....

Dalam hening, akhirnya ruang ini mengizinkan waktu untuk menyepi, dan berorientasi....


(Replay, 060210, *Ditulis tanpa tendensi untuk mencari konklusi,,,)


"Ikhlas itu,,,
 berserah...

Ikhlas itu menjadikan Allah satu-satunya penentu untuk segala keputusan,,keyakinan dari segala kebimbangan,,,dan ketenangan atas segala kegundahan...

Ikhlas lebih dari sekedar kata,,,ikhlas menancapkan akarnya di relung hati paling dalam untuk kemudian membuyarkan segala rasionalitas,,,karena Ikhlas lebih dari apa yang bisa dijelaskan logika,,,

Ikhlas bagi saya adalah puncak tertinggi dari segala klimaks pergulatan hati...Ikhlas memberi banyak ruang untuk bersyukur sedalam-dalamnya...

Ikhlas menjelaskan hidup ini indah dalam segala dimensi...andai manusia melihat dengan kacamata yang sama...

Ikhlas adalah penawar untuk segala penyakit, sapu tangan untuk segala tangis,,pegangan untuk segala kebimbangan, teman untuk segala kesendirian, penenang untuk segala kekhawatiran,penjaga untuk segala ketakutan..

Ikhlas mengantarkan hati manusia untuk berdialog dengan Penciptanya...

Ikhlas mengingatkan manusia akan KeEsaan Tuhannya....

Ikhlas itu melepaskan segala keangkuhan...mengganti segala "kepastian" manusia dengan "atas izin Allah"...

Ikhlas adalah prolog untuk segala doa,,,

Ikhlas itu bersih...

Ikhlas itu damai,,..

Memaknai hidup adalah memaknai sebuah keikhlasan...

Dimata saya,,

Ikhlas itu,,

Indah..."



Kini, setelah jiwa menyebrangi sekian purnama, mungkin saya masih duduk manis di sebuah kelas, dalam sebuah pembelajaran untuk selalu ikhlas...
.....
Entah bila masanya, kuliah hidup ini lulus sudah hingga berbuah selembar ijazah...
.....
tapi singkat kata, 

Segala Puji Bagi Allah,,Karena Hidup Ini Selalu Indah....






*buru-buru menyudahi kopi, menetralisir pahitnya yang parah, ternyata selingkuh tidak selalu indah...:)

Kamis, 16 Juni 2011

Dua Bintang, Dua Cangkir, dan Satu Pertemuan.

Betapa rumitnya Tuhan mengatur segala pertemuan. Adam dan Hawa, Hitam dan putih, Gula dan Teh, Ulat dan Daun, Air Laut dan Pasir, Sepatu dan Telapak Kaki, Tanah dan Pondasi, dan terakhir pada detik ini, pertemuan Vega dan Altair. Dua nama berbeda dengan satu makna sama. Bintang. Vega bersinar paling terang pada Rasi Lyra, dan Altair berpendar mempesona pada rasi Aquila. Dua dari tiga bintang yang dalam mitologi yunani digariskan bersahabat, bersama satu lagi si angsa putih, Deneb dari rasi Cygnus. 

Ve dan Al, dua jiwa  yang menggeser mitos, karena mereka akhirnya pernah saling jatuh cinta, dan pernah juga saling memberi luka . Pernah saling mendamba dalam gila, tak luput juga bergerilya untuk saling mencerca. Ya, di bumi mereka memang hanya manusia biasa. Sebagaimana biasanya teh tanpa gula. Tawar tapi selalu jujur apa adanya. 

Setelah lalu ratusan purnama, satu kali gerhana, belasan gempa, dan juga pergantian walikota, dua jiwa yang akhirnya sepakat berjalan sendiri-sendiri setelah pernah berlari estafet merangkai mimpi ini, akhirnya bertatap muka. Bersua layaknya kawan lama yang hendak berbagi cerita. Motif sederhana dalam dua cangkir putih dengan penghuni berbeda. Teh dan Kopi. Dua cangkir minuman yang sama-sama manis karena mereka memang sama-sama penyuka gula. Satu kemiripan dari sekian ratus unsur  berbeda yang pernah mereka ramu dalam satu larutan pekat bernama Cinta. Larutan pekat yang enggan stagnan karena selanjutnya berubah wujud pada satu titik jenuh yang sama, menjelma menjadi luka dan lupa. Luka karena mereka sama-sama memberi izin untuk disakiti, lupa karena dengan hanya dengan begitu mereka berdamai dengan nyeri. Rasa yang impas tapi sempat sejenak meninggalkan bekas. 

 Sadar betapa sulitnya Tuhan mengatur segala pertemuan, mereka mulai saling menyapa. Berbasa-basi hampir basi  seperti “Kamu kapan balik dari Melbourne, Ve?”, atau “Ga nyangka akhirnya kamu memilih jadi PNS juga, Al?” Dalam setiap jeda, entah berapa sendok gula ditambahkan Ve, dan sudah tak terhitung berapa kali Al mengaduk kopi susu panasnya. Ada udara hampa diantara mereka. Ada cerita yang belum usai, ada terimakasih yang belum tulus diucapkan, dan ada maaf yang tersimpan  rapi menunggu untuk dimuntahkan. Mereka sama-sama berhutang kata, lepas dari keinginan untuk memutar ulang atau hanya sekedar saling mengenang. 

Vega di mata Al sudah jauh berbeda, mesmerizing dan sophisticated, mata cerdasnya masih berkilau seperti dulu, mata yang menghujam sekaligus menenangkan. Altair di mata Ve juga begitu. Jauh lebih kokoh dan berwibawa dibanding dulu, raut wajahnya tegas dengan mata yang masih semisterius dulu, mata yang berbicara dalam bahasa berbeda dengan kilau ekspresif mata Vega. 

Vega berpakaian rapih dengan Jaket Roberto Verino hitam asimetris, Dress Putih Noir & Blanc yang manis dengan sedikit jahitan rimpel miring di bagian paha, hosiery Vogue, dan lengkap dengan Ankle Strap Zara yang  membalut telapak dan punggung kakinya. Satu kata, Stunning. Ve selalu punya banyak cara untuk  membuat dirinya berbeda. Kalau perempuan disekitarnya berlomba beradu warna pelangi, Ia akan memilih menjadi hitam, dan saat semua wanita terbalut samar dalam gelap, maka ia akan memilih menjadi putih.  Untuk satu hal itu, Al yang walaupun tak pernah sepakat, telah maklum sejak lama. 

Bertolakbelakang dari Ve, Altair hadir sederhana dengan polo shirt abu-abu dan jeans biru Levis. Al tak pernah tergoda menonjolkan diri, sebisanya Ia hadir sesamar mungkin, tenggelam diantara hiruk pikuk bukan masalah, Ia hanya tidak paham mengapa harus  berbeda. Baginya berpakaian itu fungsi, bukan seni. Al tak menolak menjadi hitam, tak pula enggan membalut tubuhnya dengan putih, tapi Ia akan dengan senang hati mengenakan abu-abu. Satu warna favorit yang Ve tahu benar karena Ia pun pernah mengagumi warna yang sama, namun pensiun dini semenjak Ia menyerah bertahan dengan Al. Alih-alih menjatuhkan pilihan pada abu-abu, Ve mengakalinya dengan silver grey. Hampir serupa, tapi tentu tak sama. Setidaknya begitu di mata Ve. 

20 menit berlalu,  teh di ujung jari Ve terlalu manis sudah, tak ubahnya dengan kopi susu Al, yang pasrah dingin sebelum habis. Semua topik mengalir tanpa polemik, tentang pekerjaan, sekolah, Bandung, travelling, hingga politik. Diskusi bergulir semiformal, dari topik disertasi Ve hingga proyek Jembatan Selat Sunda dimana Al terlibat didalamnya.  Hanya satu topik yang tak pernah mereka mulai, baik ketika pertama kali berjabat tangan, hingga menit ke 21 ini,  “Cinta”. Tak ada yang ikhlas mempelopori pertanyaan “kamu sudah menikah?”. Informasi yang mudah diakses sebetulnya, andaikata keduanya tidak buru-buru hengkang dari dunia jejaring setelah sama-sama mapan pada karir masing-masing. Informasi yang tak mampu dijawab oleh dua pasang jemari yang polos tanpa cincin. 

 Dalam bisu mereka sama-sama menerka. Dalam hening dua jiwa tak bergeming. Dalam sepi, dua buah fakta terlipat rapi. Mereka duduk begitu dekat, tapi saling tercekat. Saling berhadapan namun enggan membalas tatapan. Seakan ada rambu yang membelenggu. Layaknya tamu, Vega dan Altair saling menunggu tanpa tahu pasti apa yang dinanti. Mereka hanya sama-sama ingin tahu, sudahkah masing-masing menemukan cinta kembali untuk selanjutnya berikrar mencintai sampai mati?

“Bulan depan aku menikah, Al.” Vega memecah sunyi…
“Bulan depan aku menikah, Ve.” Disaat yang sama Altair genap mengenyahkan sepi…

Untuk pertama kalinya, mereka sama-sama berbinar. Ketika begitu banyak hal yang berubah, mata Ve dan Al berbicara jujur tanpa tabir. Nyatanya kebahagiaan itu terpancar, berpendar setelah puluhan menit terkunci dalam sangkar. Selanjutnya mereka bertukar undangan. Dua buah undangan hitam dan putih beradu di antara cangkir. Saling menyapa, dan berkenalan. Tak perlu pembahasan lebih lanjut tentang nama siapa yang bertengger menemani di halaman depan, karena mereka yakin pemilik nama itu sama-sama beruntung. Seberuntung mereka yang masih sempat bertemu dan membayar hutang kata. Dua kata yang selanjutnya berbaur untuk berbagi bahagia. Dua kata yang tersimpan rapih hingga hari ini, ketika dua bintang itu melapangkan hati untuk mengucap “ Maaf”  dan “Terimakasih”.